Mohon tunggu...
Ronaldus AdipatiKunjung
Ronaldus AdipatiKunjung Mohon Tunggu... Buruh - Freelance

Orang biasa yang tertarik pada dunia tulis menulis dan suka menulis yang tidak penting

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lejong: Mengurai Benang Kusut Ke-Indonesia-an (Sebuah Solusi Kultural)

26 Mei 2022   18:32 Diperbarui: 26 Mei 2022   18:36 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.beritaflores.com

Ini adalah contoh baru kemunduran penegakan hukum kita. Politik sejatinya adalah kegiatan  untuk mengambil keputusan-keputusan strategis demi kemaslahatan masyarakat banyak. Tetapi pada kenyataannya, politisi-politisi kita hanya hadir untuk sebagian kecil orang saja. Hal yang masih santer dibicarakan belakangan ini adalah merebaknya isu sensitive terkait SARA untuk kepentingan politis. Isu yang seksi ini digiring untuk mempengaruhi pemilih dalam Pemilu. Sebenarnya ini adalah cermin ketidakmampuan politisi untuk memproduksi visi dan misi guna kepentingan masyarakat banyak. Patut disesalkan.

Tawaran Solusi: Lejong

Sadar atau tidak kita sebagai masyarakat sudah lama mendekam dalam kesendirian. Kita sudah lama mengkotak dan dikotak dalam sebuah 'getho", lingkungan sosial yang sempit dan primitif. Dalam lingkungan itu, kita mungkin haram menerima beda. Doktrin-doktrin yang diberikan oleh pemuka kita masing-masing menekankan bahwa beda itu tabu. Beda itu sebuah keniscayaan. 

Di sinilah kita butuh "lejong". "Lejong"  dalam kosa kata bahasa Manggarai berarti percakapan ringan dua orang atau lebih. Sebagai percakapan ringan, lejong tak butuh notulis, tak butuh moderator, tak butuh media massa meliputi, apalagi aksi aksi massa bergelombang. Lejong dalam tradisi Manggarai biasanya dilakukan untuk bertukar informasi ditemani kopi. Dalam lejong, persoalan berat hingga ringan terkadang mampu diselesaikan hanya dengan secangkir kopi ditemani "mbako" (rokok). Suka atau tidak, tradisi ini sangat mengakar dan akrab di Manggarai, Selat sape'n sale Wae Mokel'n awo (Dari Batas Barat Selat Sape sampai Batas Timur Wae Mokel).

Untuk menyelesaikan persoalan bangsa kita ini dibutuhkan niat baik pemerintah untuk melakukan lejong dengan masyarakat. Masyarakat membutuhkan pemerintah yang punya niat baik, ada bersama masyarakat saat-saat tertentu dan mendengarkan kata hati masyarakat. Untuk hal ini, barangkali kita perlu belajar ke daerah Manggarai yang sebulan sekali Bupati dan Wakilnya berkantor di Desa untuk menyerap aspirasi masyarakat. Dalam melakukan Lejong dengan masyarakat, pemerintah harus punya konsep lejong yang jelas tidak sekedar hura-hura menghabiskan dana. Pemerintah harus punya tujuan meski tidak harus dibungkus dengan tata protokoler yang ketat. 

Berkaitan dengan itu, ada beberapa tawaran yang hendak penulis berikan kepada pemerintah terutama bagaimana lejong dengan masyarakat.           

Pertama, pemerintah harus lejong tentang education (pendidikan). Para pemangku kepentingan dan kebijakan publik harus bisa mendekati masyarakat dengan membawa misi edukasi. Para pengampu kebijakan harus turun ke masyarakat untuk memberi pendidikan kepada masyarakat, khususnya pendidikan terkait relasi sosial dalam hidup bermasyarakat. Masyarakat harus diberikan pendidikan bahwa beda adalah seni, keragaman adalah kekahasan. Sebagai manusia kita tak mungkin seragam. Kehidupan berbangsa khususnya bangsa kita tidak hanya lahir dari darah dan air mata golongan tertentu saja tetapi itu adalah buah pengorbanan semua suku, agama, dan ras yang ada.

Kedua, Lejong tentang  empowerment (pemberdayaan). Setelah memberikan pendidikan kepada masyarakat, pemerintah perlu melakukan pemberdayaan. Berdayakan masyarakat melalui pelatihan-pelatihan dan beri mereka usaha. Ketika masyarakat mempunyai keterampilan, maka mereka akan dengan mudah diterima di dunia usaha berbasis UKM. Gali potensi-potensi yang ada dalam masyarakat seperti ide, kreativitas, dan kompetensi yang mereka miliki untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Ketika itu berjalan maka masyarakat tidak sibuk lagi dengan kegiatan-kegiatan yang hanya menyita waktu dan tenaga, kegiatan-kegiatan radikal dan merongrong nuasa perbedaan.

Ketiga, lejong berkaitan dengan Nasionalism (Nasionalisme). Di atas semuanya itu, pemerintah harus menanamkan jiwa nasionalisme dalam diri masyarakat. Nasionalisme adalah kemampuan masyarakat untuk menjunjung tinggi bangsa dan negaranya di atas kepentingan pribadi dan golongan. Nasionalisme bukan hanya milik golongan dan suku tertentu. Nasionalisme adalah condition sine qua non  dalam kehidupan berbangsa. Tanpa nasionalisme, kita sebagai bangsa akan mudah retak dan terpecah. Melalui lejong dari pemangku kepentingan, masyarakat menjadi sadar bahwa Indonesia adalah milik kita bukan milik saya, kamu, dia, atau juga mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun