[caption id="attachment_79706" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] 10 Desember 2010, Jumat sore. Dari bandara Soekarno Hatta, saya melanjutkan perjalanan ke arah Puncak. Weekend ini masih ditemani business plan meeting. Apa boleh buat, sudah terjadwal. Berkeluh kesah sudah tidak fair lagi buat saya, mengingat rencana akhir tahun ini untuk pulang kampung, menghabiskan cuti bersama keluarga. Jadi, dalam beberapa hari ke depan, saya punya kewajiban "menyicil". Â Di tengah perjalanan, seorang aktivis perempuan menghubungi saya. Beliau mengkonfirmasi apakah memang benar RUU Parpol akan disahkan menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR 17 Desember 2010? Oh ya, secara lengkap judul RUU-nya adalah Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Selanjutnya saya singkat RUU Parpol. Awalnya saya sempat kaget dan lantas bertanya, apa iya Panitia Kerja (Panja) Komisi II dan Pemerintah bisa menyelesaikan (pembahasan RUU Parpol) dalam masa sidang ini juga, yang sebenarnya terbilang singkat, (hanya 19 hari kerja)? Saat rapat kerja (raker) pertama kali antara Komisi II dan Pemerintah 25 November 2010, seingat saya memang ada komitmen dari DPR dan Pemerintah untuk menuntaskannya sebelum masa sidang ini berakhir. Tapi ya seperti biasa, kadang komitmen tersebut pada akhirnya sering terlanggar juga. Kalau kemudian DPR dan Pemerintah mampu menyelesaikan pembahasan RUU Parpol sesuai janji awal, ya setidaknya mereka berusaha membuktikan :-) Saya bisa pastikan bahwa Pembicaraan Tingkat II/pengambilan keputusan (terhadap RUU Parpol menjadi UU) dalam Rapat Paripurna DPR (dijadwalkan) 17 Desember 2010. Apabila berubah (diundur) menjadi 21 Desember 2010, maka penjadwalan ulang tersebut lumrah terjadi dan biasanya disepakati dulu antara Komisi II dan Menteri Dalam Negeri dan kemudian di forum Badan Musyawarah (Bamus). Menjawab pertanyan berikutnya dari aktivis perempuan tersebut tentang apa saja kesepakatan akhir dari pembahasan RUU Parpol, saya tidak bisa langsung menjawabnya. Saya minta waktu untuk menghubungi beberapa orang informan. Beberapa wartawan yang saya hubungi, ikutan kaget dan tidak tahu tentang perkembangan terakhir RUU Parpol. Mereka hanya tahu Panja sedang melakukan rapat pembahasan RUU Parpol di Karawaci. Akhirnya saya menghubungi dua orang anggota Panja RUU Parpol dari FPDIP dan FPG. Hasilnya adalah tidak jauh berbeda dengan apa yang belakangan beredar di media, misalnya tidak disyaratkan lagi deposit bagi partai politik, syarat pendirian partai politik baru adalah minimal 30 orang, dll. Tentang rumusan keterwakilan perempuan, sebenarnya sudah ada upaya untuk mendorong agar ketentuan minimal 30% wakil perempuan masuk hingga pengurus harian. Sayangnya, upaya tersebut gagal. Saya tidak tahu persis penyebabnya apa/dimana. 12 Desember 2010, Minggu malam. Saya dihubungi wartawan surat kabar nasional. Wawancara berlangsung via bbm. Pertanyaan pembuka: "Revisi UU Parpol (maksudnya RUU Parpol) koq cepet banget yaa? Ada nggak sih yang bahasnya secepat ini? Hanya 15 hari, langsung sepakat" Sebenarnya tidak ada masalah kalau DPR dan Pemerintah membahas suatu RUU secara cepat. Apalagi ketentuan Pasal 141 ayat (1) Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib menyatakan pembahasan rancangan undang-undang dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) kali masa sidang dan dijadwalkan oleh Bamus. Kalaupun diperpanjang oleh Bamus, sesuai dengan permintaan tertulis pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan Badan Legislasi (Baleg), atau pimpinan panitia khusus (pansus), untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) kali masa sidang. Baru kemudian menjadi masalah, kalau pembahasan RUU tersebut menutup ruang partisipasi, keterbukaan proses, serta menabrak prinsip-prinsip konstitusionalitas, HAM, sistem administrasi negara, mendorong perilaku korupsi dan pencemaran lingkungan hidup, pengabaian perlindungan hak-hak ekonomi, sosial, budaya, dan aspek gender. Pada keanggotaan DPR periode 2004-2009, pernah ada pembahasan rancangan undang-undang yang terkesan "ngebut". RUU Jabatan Notaris (sekarang UU No. 30 Tahun 2004) dan RUU Kearsiapan (UU No. 43 Tahun 2009) adalah contohnya. Cukup dua minggu membahas RUU Jabatan Notaris. Bahkan forum Panja RUU Kearsipan berlangsung hanya dua hari. Memang, RUU Parpol sebelumnya (UU No. 2 Tahun 2008) dibahas lebih lama, 6 (enam) bulan lebih dikit. Surat Presiden (Surpres) terbit 25 Mei 2007. Mulai pembahasan 12 Juli 2007 dan disahkan menjadi UU 6 Desember 2007. Mengapa RUU Parpol kali ini bisa dibahas lebih cepat? Sebenarnya sinyal keinginan DPR dan Pemerintah membahas RUU Parpol lebih cepat terlihat saat raker pertama antara Komisi II dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Ketua Komisi II beberapa kali menyatakan kalau RUU Parpol ini bisa dikebut pembahasannya. Mendagri pun mengkonfirmasi serupa. Ada dua kemungkinan RUU Parpol bisa cepat selesai. Pertama, bisa jadi antara Komisi II dengan Pemerintah menyepakati lebih dulu suatu cara tersendiri bagaimana supaya RUU tersebut bisa dibahas cepat, tanpa sepenuhnya mengandalkan (penggunaan) Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), ditambah faktor kedisiplinan (untuk yang ini perlu dibuktikan lagi). Atau yang kedua, secara substansi tidak banyak isu krusial yang memakan waktu saat pembahasan. Apalagi antara Pemerintah dan DPR sudah sepakat pada orientasi pengaturan yang ketat untuk munculnya parpol baru. Saya sendiri cenderung pada kemungkinan kedua. Lesson learned-nya buat proses legislasi adalah kalau Pemerintah dan DPR sudah sepakat di level isu, sebelum menggunakan DIM, maka diperkirakan suatu rancangan undang-undang bisa lebih cepat selesainya. Tapi lagi-lagi, perkiraan ini masih harus mempertimbangkan faktor kedisiplinan dan tidak didera oleh polarisasi kepentingan politis yang rumit konsensusnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H