Kita bisa tahu pula jadwal dan hasil kunjungan kerja anggota DPR, termasuk studi  banding yang dilakukan selama 2010 yang berlangsung masif. Ini juga sekaligus menjawab kekurangan Pasal 143 Tata Tertib yang tidak mengatur dan memerintahkan penyusunan dan publikasi laporan hasil studi banding. Di sini, pimpinan DPR mengambil peran dan sebagian tanggung jawab untuk menginformasikan kepada publik perihal rencana studi banding dan hasil yang diperoleh. Sehingga, ketidaktahuan publik relatif bisa dijawab, meskipun kewajiban utama tetap ada pada alat kelengkapan yang melakukan studi banding tersebut.
Mungkin saja, respon salah kaprah terhadap kebijakan DPR atau yang terkait dengan proses legislasi berasal dari pernyataan individu-individu anggota DPR. Bayangkan saja, seandainya 560 orang anggota DPR berbicara tentang satu isu atau satu rancangan undang-undang, setidaknya ada separuh tanggapan dapat muncul. Tentu pimpinan DPR tidak bisa membatasinya. Tapi masyarakat perlu rujukan resmi dan dapat dijadikan pegangan. Di sinilah kemudian kehadiran pimpinan DPR menjalankan mandat Pasal 31 ayat (4) huruf a dan huruf b Tata Tertib.
Kesimpulan
Penulis belum bersepakat dengan kesimpulan Ketua DPR yang menyatakan DPR lemah dalam berkomunikasi. Kita belum mendapatkan jawaban apakah pimpinan DPR sepanjang 2010, telah bertindak sesuai kehendak Pasal 31 ayat (4) huruf a dan huruf b Tata Tertib dan berjalan efektif sebagai juru bicara DPR? Sumir menilai lemah berkomunikasi, karena pimpinan DPR sendiri belum "bercakap-cakap" secara rutin kepada publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H