Mohon tunggu...
Ronaldo Tengker
Ronaldo Tengker Mohon Tunggu... Penulis - Writer

The Author of: The Unconditional Love (2012), Beautiful Exchange (2013), Everlasting Love (2015), FriendShape (2015), The One I Love (2016), Romeo and Julio (2017), The Unconditional Love 2 (2021), You Only Love Once (soon)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Recehan Harga Diri

19 Juni 2014   17:36 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:08 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pak Min, pengemis tua itu menekan-nekan lagi perutnya yang terasa lapar. Dia sudah berdiri di tempat biasa dia mengemis lebih dari enam jam hari ini. Dengan pandangan memelas dia melihat kaleng susu yang diubahnya sebagai tempat yang dia gunakan untuk meminta-minta kepada pejalan kaki yang lewat di jalan itu.
Dia merogoh beberapa lembar uang kertas, dan recehan dari dalam kaleng itu, dengan tangan yang gemetar hebat akibat rasa laparnya, dia tidak bisa menggenggam uang hasil mengemis dengan kuat, hal itu mengakibatkan beberapa uang recehnya jatuh, beberapa ada yang memantul-mantul dan beberapa ada yang menggelinding menjauhi Pak Min, dengan sigap dia mengambil recehan itu dengan susah payahnya. Keadaan tubuhnya yang sudah memasuki usia senja itu membuatnya kesulitan untuk mengejar recehan itu. Para pejalan kaki menubrukinya tanpa rasa kasihan
“Aduh.” Pak Min jatuh tersungkur. dia memandang uang koin seribuan yang jatuh menggelinding dan beberapa ada yang terinjak-injak oleh pejalan kaki. Tidak ada satupun yang membantunya memunguti uang recehan itu. Dia bangkit berdiri dan kembali ke tempatnya mengemis tadi, sambil mnegerutkan bibirnya, dia menyesal karena telah mengeluarkan uang itu dengan terburu-buru.
Dia memngangkat kaleng mengemisnya dan segera membawanya pergi, dia merelakan uang koinnya yang tadi jatuh, sambil berjalan berhati-hati terhadap tubuh para pejalan kaki yang melintasi jalan itu denga tergesa-gesa.
Dia menekan kembali perutnya yang sudah tidak terisi mulai kemarin. Dia menyerah, dia segera pergi ke warung terdekat untuk mengisi perutnya, meskipun uang yang dia hasilkan untuk hari ini terkumpul hanya sedikit. Dia terpaksa mengemis karena Istrinya meninggal karena penyakit paru-parunya sedangkan anak-anaknya pergi meninggalkannya tanpa ada kabar lagi hingga saat ini.
“Beli apa pak?” tanya Ibu penjaga warung, Pak Min menatap satu per satu makanan yang berjajar dan terpajang di warung itu. Semuanya tampak menggiurkan, lezat dan pasti mahal harganya.
“Saya mau tempe itu Bu, tahu juga, sama bumbu rendang dan sambalnya ya Bu.” ujar Pak Min dengan suara parau. wajah keriputnya itu sedikit tersungging ketika melihat makanan-makanan itu. Tapi dia bersyukur meskipun hanya bisa membeli tahu tempe dan bumbu rendang untuk makanan hari ini. Dia segera membayarnya dan beranjak pergi dari tempat itu.
Pak Min segera tersenyum, hatinya senang, karena sebungkus nasi beserta lauk sederhana berhasil dia dapatkan. Dia berjalan dengan sedikit membungkuk menuju gubuk sederhana yang hanya beratapkan Kardus dan berdinding triplek-triplek tipis.
“Permisi Pak,” suara seseorang yang terasa asing bagi Pak Min itu mengagetkan dirinya ketika dia baru saja sampai di gubuknya.
“Oh iya.” balas Pak Min dengan sopan, dia menaruh nasi bungkusnya dan duduk di atas ranjang kusam yang telah terkoyak di beberapa sudut. kapuknya sendiri telah mengeras.
“Pak, maaf mengganggu Bapak.” ujar gadis yang ada di depannya. Pak Min mengerutkan keningnya yang telah keriput itu hingga menjadi seperti bantal yang terlipat-lipat. “Tadi saya melihat Bapak di jalan dan saya ingin mengganti uang bapak yang terjatuh tadi dan saya membawa beberapa makanan untuk Bapak.” gadis itu memberikan sebungkus makanan dan beberapa lembar sepuluhribuan. “Tidak banyak memang, tapi semoga cukup untuk menyambung hidup bapak.”
“Nak, terima kasih. Zaman sekarang itu jarang sekali seperti kamu, banyak orang yang tidak memerdulikan sesamanya. Mereka hanya perduli kepada sesama teman yang mereka kenal saja. Saya hanya seorang diri di dunia ini, anak saya menghilang entah kemana.” Pak Min berusaha berbagi penderitaannya kepada seseorang yang baru dia kenal 3 menit yang lalu.
“Nama saya Nadira, Pak. Bapak namanya siapa?” dengan santun gadis itu mengulurkan tangannya dan menganggukan kepalanya dengan sopan ketika Pak Min menyebutkan namanya. “Kalau Pak min tidak keberatan, Bapak bisa bekerja sebagai tukang parkir di restoran milik saya, Pak. Nanti saya gaji kok, daripada Bapak mengemis, lebih baik Bapak bekerja, tidak sulit pak hanya mengatur mobil dan motor, keluar-masuk, lalu menjaganya. Kalau Bapak mau bisa datang ke tepat ini besok, besok Pak Min bisa mulai bekerja.”
Pak Min menerima kartu nama yang tertuliskan nama restoran yang terletak tidak jauh dari tempat ini. Dia kemudian menitikkan airmatanya.
“Terima kasih, Nak sudah mmeberikan Bapak pekerjaan, padahal kita baru saja bertemu.” kata Pak Min dengan sesenggukan. Bahunya berguncang hebat, dia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang keriput itu. Nadira menepuk pundak Pak Min dengan lembut.
“Sama-sama Pak, saya pergi dulu ya, semoga besok saya bisa bertemu Bapak di restoran saya.” Nadira tersenyum dan berdiri meninggalkan Pak Min yang masih menangis tersedu.
Rupanya masih ada seseorang yang berhati baik kepadanya di dunia ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun