Mohon tunggu...
Ronald M Paung
Ronald M Paung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Be a wise

Just trying to be better

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Memilih Mencintaimu

23 Mei 2016   13:03 Diperbarui: 23 Mei 2016   18:36 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Berjumpa dan memilihmu, ketika masih senja  berteman sepi, mungkin merasa membuatmu hanya sekedar dipilih. Pilihan satu daripada kosong. Pilihan riuh daripada sepi. Pilihan kamu daripada sendiri.

Perlahan kamu merasakan sekedar dipilih tidak pernah menyenangkan dan perasaan menjadi racun. Kita semakin sering bertengkar dan larut ucapan-ucapan penyesalan dalam hati.

Sebetulnya pilihan kita tidak sesederhana itu. Berjumpa denganmu, seperti banyak doaku, telah lama aku minta kepada ibu takdir dan nasib. Ketika aku merengek dan merayunya. Saat bersimpuh diujung altarnya aku selalu menangis dan memohon untuk satu kesempatan. Aku memohon kesempatan dan waktu dimana nafasku tercekat dalam mulut, dimana kata-kataku habis tanpa bunyi, dimana jantungku berdebar dengan cepat dan dimana pilihanku terasa tepat tanpa pura-pura. Hari disaat mencintai datang begitu saja tanpa tendensi dan kepura-puraan

Sayangnya, perasaan selalu aneh. Dia datang silih berganti dengan banyak senyum dan tawa. Membawa banyak jenis rasa yang seolah-olah tulus. Kemudian tercampur dalam banyak kemunafikan nafsu yang menghancurkan banyak harapan. Berderai-derai air mata mengiringi kepergian banyak harapan, harapan para kekasih yang menyakiti dan disakiti.

Aku mulai mati rasa dan berhenti percaya pada prosesnya. Menjadi pelakon dan merasakan semua remuk redamnya  membuat siapa pun hilang keyakinan. Aku tidak lagi berdoa untuk sebuah pertemuan dan berhenti percaya pada takdir.

Kemudian kita bertemu. Diantara banyak remuk redam, hiruk pikuk dan kesunyian yang membunuh kita menempuh jalan ini. Sayangnya kita terdistorsi kenangan yang membuat jalan ini tak mudah. Terlalu banyak asumsi dan keragu-raguan. Kita mendasarkan masa depan pada masa lalu dan berlarut-larut menjadi alasan pembenaran ucapan kita. 

Kita terpuruk dalam dilema. Mencintai dengan hati yang tak utuh sangat menyiksa sehingga pada akhirnya kita pelan-pelan memilih untuk menjauh

Kehilangan itu sangat menyakitkan dan proses mencintai kembali itu tak pernah mudah. Mencintai dan dicintai membutuhkan proses yang lama dan penuh luka. Bukankah kita sudah melaluinya semua? Apakah kita akan mengijinkan masa lalu menjadi patokan langkah-langkah masa depan? Haruskah kita kembali memulai dari garis awal? 

Andai kamu tahu, Kamu tak pernah sekedar kupilih...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun