Kasus Rempang merupakan konflik kepemilikan tanah yang ada di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, Indonesia yang menimbullkan keresahan di kalangan masyarakat setempat. Konflik muncul akibat rencana pemerintah mengembangkan kawasan Rempang Eco City yang berujung pada relokasi sebagian warga. Perselisihan penggusuran memanas selama berbulan-bulan, setelah pemerintah mengumumkan 7.500 warga Rempang harus pindah. Perselisihan penggusuran sudah memanas selama berbulan-bulan, ribuan warga terancam penggusuran akibat rencana pemerintah mengembangkan kawasan Eco-City Rempang.
Usut punya usut rencana pembangunan kawasan Rempang Eco City telah mencuat sejak 2004. Dahulu, pemerintah bekerja sama dengan PT. Makmur Elok Graha sebagai mitra swasta dalam kerjasama dengan BP Batam dan Pemerintah Kota Batam.
Daerah Rempang direncanakan sebagai tempat berdirinya pabrik kaca terbesar kedua di dunia milik Xinyi Group, sebuah perusahaan asal China. Diperkirakan, investasi untuk proyek tersebut mencapai US$11,6 miliar atau kira-kira Rp174 triliun.
Informasi dari situs BP Batam menunjukkan bahwa proyek ini akan menggunakan lahan seluas 7.572 hektare di Pulau Rempang, yang mencakup 45,89% dari total luas Pulau Rempang yang mencapai 16.500 hektare.
Beberapa penduduk yang terkena dampak harus dipindahkan karena proyek ini. Sebagai bentuk kompensasi, Kepala BP Batam, Muhammad Rudi, mengatakan pemerintah akan menyediakan rumah tipe 45 dengan harga Rp120 juta dan luas tanah 500 meter persegi untuk mereka. Namun tetap saja masyarakat enggan untuk direlokasi.
Masyarakat Rempang memiliki beberapa alasan untuk enggan direlokasi, diantaranya adalah ikatan generasi, kurangnya informasi, dan juga takut akan kehilangan mata pencaharian. Warga yang telah tinggal di lahan tersebut selama beberapa generasi menolak untuk direlokasi pemerintah. Selain itu, warga yang tinggal di Pulau Rempang enggan mendaftar untuk mengikuti relokasi karena kurangnya informasi mengenai proses relokasi atau kurangnya kepercayaan terhadap janji janji pemerintah. Dan dengan usulan pengembangan kawasan Eco-City Rempang dapat mengakibatkan hilangnya mata pencaharian sebagian warga. Hal ini yang membuat warga enggan direlokasi karena takut tidak mampu menghidupi diri sendiri di lokasi baru.
Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau bergejolak sejak 7 September 2023, akibat bentrokan yang terjadi antara warga setempat dengan aparat gabungan dari TNI, Polri, dan Direktorat Pengamanan Aset BP Batam. Pemerintah mengklaim kebanyakan warga tidak memiliki sertifikat atau surat bukti yang menunjukkan kepemilikan lahan di Pulau Rempang. Selain itu, bentrokan juga pemerintah anggap melibatkan orang-orang di luar masyarakat Rempang yang tak terdampak relokasi.
Konfrontasi antara warga dan aparat keamanan memuncak saat gas air mata ditembakkan. Akibatnya, situasi menjadi begitu kacau dengan warga panik berlarian dan terjadi aksi dorong-mendorong. Laporan memberikan informasi bahwa beberapa siswa sekolah mengalami gangguan akibat mengirup gas air mata yang terbawa angin, mengingat sekolah tersebut terbilang dekat dengan lokasi kericuhan. Dengan kejadian itu, pemerintah dituding berusaha mengevakuasi puskesmas dan petugas kesehatan di pulau tersebut.
Konflik ini pastinya juga akan berdampak dalam jangka panjang terhadap masyarakat, berikut beberapa dampak yang mungkin akan terjadi apabila konflik ini terus berlanjut:
- Dampak Negatif
- Konflik tersebut telah menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat setempat, dan sebagian warga ada yang menolak direlokasi sehingga dapat berujung pada konflik yang berkepanjangan.
- Konflik tersebut telah mengakibatkan bentrokan dengan kekerasan dan penggunaan kekuatan oleh pemerintah, yang dapat menimbulkan trauma jangka panjang dan ketidakpercayaan di kalangan masyarakat.
- Lemahnya sistem kepemilikan tanah di Indonesia, seperti yang terlihat dari konflik Rempang, dapat memicu konflik serupa di wilayah lain di tanah air.
- Konflik ini menggarisbawahi orientasi presiden yang sangat liberal dan kapitalis, yang dapat menyebabkan konflik lebih lanjut antara pemerintah dan masyarakat lokal.
- Dampak Positif
- Konflik ini dapat membawa pada perbaikan sistem kepemilikan tanah di Indonesia, serta peningkatan kesadaran akan hak-hak masyarakat lokal
- Konflik ini dapat meningkatkan solidaritas dan dukungan yang lebih besar bagi masyarakat Rempang dari kelompok masyarakat sipil dan komunitas lain yang menghadapi masalah serupa.
Dengan ini mungkin ada beberapa solusi atau alternatif yang dapat dilakukan pemerintah kepada para masyarakat, seperti:
- Penguatan Sosialisasi: Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan penguatan sosialisasi merupakan salah satu cara atau strategi taktis untuk menyelesaikan konflik di Pulau Rempang.
- Relokasi dan pembangunan: Salah satu solusi yang diusulkan adalah dengan merelokasi warga dan mengembangkan kawasan Eco-City Rempang. Namun solusi ini mendapat tentangan dari sebagian warga yang tidak ingin direlokasi
- Mengutamakan Masyarakat: NU dan Muhammadiyah Ingatkan Pemerintah Prioritaskan Masyarakat dalam Penyelesaian Permasalahan yang Terjadi di Pulau Rempang
- Menawarkan janji: Pemerintah Indonesia, khususnya Pemerintah Batam, telah memberikan janji kepada warga Pulau Rempang yang ingin direlokasi, seperti peningkatan paket relokasi.