Membaca berita event“The Prospects For Financial Stability” dari IPEKA Integrated Christian School (IICS) di Kompas, saya agak terkejut melihat pernyataan seorang ahli ekonometrika yang juga peraih penghargaan Nobel, Prof. Robert Engle, mengenai kondisi pola pikir siswa sekolah saat ini. Beliau mengatakan masih banyak generasi muda yang terjebak pemahaman sempit mengenai pilihan ilmu pengetahuan yang ingin dipelajari.
Ternyata masih banyak yang membandingkan siapa lebih pintar antara siswa IPA (sains) dan IPS (sosial). Pola pikir sempit seperti ini sudah terjadi sejak lama. Antara siswa IPA dan IPS, mereka saling ejek atau setidaknya yang satu merasa lebih ‘eksklusif’ yang lain merasa minder.
Dulu, orang tua masing-masing anak memang banyak yang menerapkan pola pikir sempit seperti ini. Banyak orang-tua yang memaksa anaknya masuk jurusan IPA, lebih pintar katanya; atau lebih eksklusif, lebih dihargai dan sebagainya. Apakah orang-tua jaman ini tidak menerapkan pemahaman yang lebih baik?
Mengukur Tingkat Kecerdasan
Mudah sekali untuk mengatakan bahwa kecerdasan TIDAK dinilai dari jurusan ilmu pengetahuan yang seseorang pilih.
Apakah seorang dokter bedah lebih cerdas dari seorang ekonom? Apa seorang dokter bedah dapat menyusun strategi kompetitif ekonomi makro, mempertahankan perekonomian Bangsa?
Apakah Einstein yang jenius mampu menggambarkan keadaan bumi masa megalitikum? Apakah Bill Gates mampu menilai kondisi kejiwaan seseorang?
Orang-orang cerdas dikatakan cerdas karena mereka menguasai bidang keilmuan masing-masing.
Perbandingan Materi Pelajaran IPA-IPS
Banyak yang mengeneralisasi ilmu pengetahuan dengan pernyataan “IPA itu hitungan, IPS itu hapalan” lalu “IPA itu berhitung, IPS Cuma menghapal”. Baik dalam IPA maupun IPS, siswa akan menemukan kedua materi tersebut, hitungan dan hapalan. Masa..!?
Baik IPA maupun IPS memiliki materi hitungan dan hapalan. Bahkan sebelum berhitung, sebenarnya kita pun harus menghapal terlebih dahulu (seperti rumus dan simbol-simbol), memahami mengapa perhitungan harus dilakukan. Lagipula, sebenarnya bukan harus ‘menghapal’ tapi lebih banyak ‘memahami’; karena jika kita paham, kita akan lebih mudah mengingat suatu materi.