Sulit dipungkiri bahwa Pemilu 2019 hampir selalu terjadi dalam tensi yang tinggi dan suhu yang terus memanas.
Hal ini disebabkan setidaknya oleh penggunaan politik identitas, penyebaran hoaks, pembohongan dan pembodohan publik, pemantik isu SARA dan Ideologi bangsa, karakter dari tokoh-tokoh politik dan agama, penyertaan partisipasi massa dan masyarakat pemilih yang sangat besar, penyelenggaraan Pilpres dan Pileg secara bersamaan.
Sulit juga menutup mata terhadap fakta bahwa Indonesia memiliki segudang prestasi kerusuhan yang dapat memicu chaos pada proses Pemilu. Seolah bangsa kita ini lekat dengan karakter perusuh.
Perhatikan betapa seringnya terjadi kasus kerusuhan antar suporter sepak bola, konflik antar suku/golongan/agama di berbagai daerah, tawuran warga dan/atau pelajar, demonstrasi yang berakhir ricuh, bentrokan massa pendukung partai politik dan lain sebagainya.
Itulah moral dan karakter dari banyak orang Indonesia.
Ingat juga bahwa kita pernah mengalami kerusuhan Mei 1998, peristiwa Timor Tengah, gerakan-gerakan separatis Papua dan Aceh, kerusuhan Poso dan banyak lainnya. Para tokoh pada banyak peristiwa-peristiwa tersebut menjadi pemain-pemain politik masa ini. Jangan sampai terulang!
Dan ingat, status negara kita masih sebagai negara yang berkembang. Faktor ekonomi rakyat menengah ke bawah, pendidikan, pengangguran dan kemiskinan menjadi pemicu emosi yang tinggi dan kekacauan massal.
INGAT juga bahwa beberapa kekuatan politik besar sudah menunjukkan gelagat tidak baik untuk merespon hasil Pemilu. Biasanya mereka gemar meneriakkan kecurangan; menunjukkan rasa dicurangi; penuh rasa curiga dan melontarkan fitnah-fitnah; dan mengancam dan mengintimidasi melalui gerakan people power; walaupun pencoblosan dan perhitungan suara belum dilakukan.
Melihat situasi politik nasional dan berbagai faktor pemicu kerusuhan yang kita miliki, strategi untuk mengantisipasi chaos sangat wajib dibuat dan dilaksanakan secara nasional!
Pernyataan Pendahuluan