Oleh; Ronaldus Tarsan
Tokoh adat yang satu ini merupakan pribadi yang sederhana dan santun. Selain karakternya yang sederhana dan santun beliau juga memiliki karakter yang kuat dan tegas. Dalam setiap rapat adat, lopo Rompang ini kerap kali menyuarakan gagasan ataupun pemikiranya dengan tegas dan lantang. Menurut salah satu tokoh masyarakat yaitu kraeng Yohanes Ardi, beliau ini adalah salah satu tokoh adat Kampung Ngendeng, Desa Golo Munga, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, NTT yang masih eksis sampai saat ini dan memiliki banyak gagasan-gagasan yang sifatnya konstruktif (membangun) dalam melestarikan budaya Manggarai antara lain “Neka hemong kuni agu kalo” dalam bahasa Indonesia yang artinya bahwa jangan melupakan budaya karena budaya adalah pijakan bagi manusia dalam menjalankan kehidupan, lalu kemudian beliau juga kerp kali memberikan motivasi kepada warga sekitar untuk menanam tanaman komoditi seperti kemiri, kopi, coklat dan sebgainya.
Pria yang bernama lengkap Titus Tober ini, terkenal juga dengan sifat sosialnya yang tinggi, hal itu ditandai dengan sejumlah sumbangsihnya terhadap warga kampung Ngendeng yang secara gratis membagikan obat tepung hasil olahannya dari puar Golo Muanga (hutan Golo Munga), kebaikan Lopo Rompang inilah membuat seluruh warga Ngendeng menjalin persaudaraan yang erat terhadap dirinya. Selain seorang sosialis lopo Rompang juga memiliki prinsip hidup yang kuat. Pasalnya Lopo Rompang pernah meninggalkan pesan yang sampai pada detik ini warga kampung Ngendeng tak melupakannya yaitu “ Eme data, data muing., Eme de’ru, de’ru muing” artinya kalau memang ada sesuatu yang menjadi milik orang lain entah itu barang atau apapun, jangan pernah kamu klaim menjadi milik-Mu, dan sebaliknya kalau memang ada sesuatu atau barang yang kamu miliki, orang lain juga tidak boleh mangklaimnya apa lagi memilikinya.
Senada dengan prinsip hidup diatas kita sebgai manusia dituntut untuk mentaati semua nilai-nilai kultur kita masing-masing, karena pada esensinya adalah nilai-nilai kulturlah memiliki porsi yang sangat besar dalam membentuk karakter serta perlilaku kita sebagai makhluk sosial. Dan ketika kemudian kita sebagai manusia mengabaikan nilai budaya kita, maka akan menciptakan ketidakharmonisan hubungan dengan leluhur maupun dengan Tuhan, tegas Lopo Rompang.
Dan sekilas sejarah terkait dengan julukannya sebagai Lopo Rompang, yang sebenarnya bukan nama asli, Lopo dalam bahasa indonesianya adalah kakek/nenek dan Rompang adalah bagian dari aktivitas pertanianuntuk membuat kebun tanaman jangka pendek maupun tanaman jangka panjang misalnya padi, jagung dan sebagainya, aktivitas Rompang sendiri memiliki makna yang spesifik yaitu membersihkan kebun tersebut dari kotoran setelah pembakaran kebun dilakukan, dalam aktivitas Rompang tersebut semua serbuk maupun kayu yang masih tersisa akan dibakar atau dibuang kepinggir kebun, singkatnya Rompang adalah aktivitas menyapu bersih, dari model inilah setiap pembicaraan kraeng Titus Tober selalu relevansikan dengan aktivitas Rompang tadi yang serba menyapu bersih kotoran-kotoran yang ada, sehingga beliau dijulukan sebagai Lopo Rompang. Dan pasalnya warga kampung Ngendeng mempopulerkan sapaan ini sebagai Lopo Rompang berangkat dari karakternya yang kuat dan penuh dengan keterbukaan, khususnya setiap pembicaraan ataupun diskusi-diskusi baik dalam forum formal maupun yang nonformal, beliau ini acapkali mengeluarkan statement yang keras, ketika ada sesuatu hal yang menyimpang dari prinsip-prinsip hidupnya. Artinya beliau ini sering mengatakan yang sebenar-benarnya dan sejujur-jujurnya serta memiliki nilai keterbukaan yang tinggi.
Selanjutnya beliau ini memiliki sejuta pengalaman dalam menjalankan kehidupan, salah satu pengalamannya yang populer dikalangan masyarakat setempat yaitu beliau pernah terlibat percakapan dengan orang utan, dan pertemuan ini sangat singkat katanya, ketika orang utan bertanya “Sing Song Marigo” jawab Lopo Rompang “Marigo Sing Song” artinya menurut lopo Rompang dari setiap kalimat pertanyaan orang utan harus dijawab dengan membalikkan kalimat tersebut sebagai jawaban yang tepat, sekalipun kita tidak memahami apa makna kalimat orang utan tersebut. Pertemuan yang bersejarah tersebut selalu beliau ceritakan pada setiap acara-acara adat maupun setiap diskusi biasa di kampung halamannya.
Dari sekian banyak pengalamannya yang menyenangkan, kraeng Titus Tober ini juga memiliki pengalaman yang sangat menyedihkan untuk kita cermati, beliau adalah salah satu dari korban kebakaran pada tahun 2004 silam, tepatnya di kampung Ngendeng desa Golo munga kecamatan Lamba leda kabupaten Manggarai timur NTT, penulis juga merupakan saksi mata pada kejadian tersebut, kronologisnya antara lain ketika terjadi kebakaran semua warga kampung pada saat itu tidak ada ditempat, semuanya pergi di kebunnya masing-masing dan lopo Rompang saja yang pergi mencari kayu bakar di hutan, setiba beberapa saat dihutan ia melihat asap tebal di kampungnya menyelimuti rumah kediamannya, dan ia meyakini bahwa kejadian tersebut tepat di rumah miliknya, lopo Rompang pun segera bergegas untuk pulang, ketika ia sampai dekat rumahnya ia melihat si jago merah sedang beraksi dengan intensitas yang tinggi, ia pun sempat ingin membuka jendela rumahnya yang diselimuti si jago merah tersebut, tetapi aksinya berhasil digagalkan oleh warga kampung, karena ia ingin menyelamatkan cecanya (emasnya).
Kebakaran ini meyebabkan sebanyak tiga (3) rumah hangus dilalap si jago merah, dari kejadian tersebut tak ada material milik lopo Rompang yang berhasil diselamatkan, hanya menyisahkan baju dibadanya demikian juga istrinya lopo Bi semuanya ludes terbakar, terkecuali dua (2) rumah lainnya milik Alm. kraeng Alo Juman dan Yosep Mensi beberapa material milik mereka berhasil diselamatkan. Pada saat itulah kampung Ngendeng ditinggalkan oleh penghuninya. Dan pada saat itu pula kraeng Titus Tober mengunsi di kampung Golo pau yang menjadi tempat kediamannya sampai sekarang.
Kraeng Titus Tober juga adalah satu dari sekian banyak tokoh dari suku lantar (kilo lantar) yang kondang dizamannya, hal itu ditandai dengan sepak terjangnya dalam mempengaruhi pemikiran generasi muda pada saat itu, dan beliau juga selalu dipercayakan sebagai tongka (juru bicara) adat, baik tongka tegi maupun tongka teing dalam acara wae nelu (acara belis & kawin).
Kini keadaan lopo Rompang sangat memprihatinkan, beliau mengalami gangguan mental sehingga mengakibatkan pemikirannya yang tidak normal lagi, kini beliau menghabiskan waktu masa tuanya dengan aktivitas yang tidak produktif lagi. Pada usianya kurang lebih 70-an tahun, beliau tidak bisa lagi beraktivitas normal seperti layaknya seorang petani pada umumnya. Potret kehidupannya yang mengispirasi kaum muda, terasa begitu singkat dan ketika penulis sempat bertemu dengan beliau dikediamannya kemarin dan juga sempat berdiskusi namun keadaannya berbeda dengan kondisinya dahulu yang masih normal, semua pembicaraan kami terasa nihil dan tidak bermakna lagi, dikarenakan keadaan mentalnya yang tidak normal lagi.
Dari tulisan yang berjudul “Eksistensi Lopo Rompang” ini, penulis ingin menyimpulkan bahwasnnya, dalam menjalankan kehidupan didunia ini kita wajib menghargai serta menghormati budaya itu sendiri, karena budaya adalah unsur terpenting sekaligus merupakan sesuatu yang fundamental dan mengandung nilai yang prinsipil dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu menghargai budaya sama halnya menghargai eksistensi diri kita masing-masing, sebab manusia tidak terlepas dari pengaruh budaya tersebut dan juga pada dasarnya kita semua dibentuk oleh budaya (culture) kita masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H