Sumber gambar: Freepik
Sampai saat ini, kesehatan reproduksi merupakan hal yang sering kali masih terasa tabu untuk dibahas. Tidak mudah rasanya untuk memulai pembicaraan terbuka mengenai kesehatan reproduksi, baik dalam lingkup ruang publik atau sedekat ruang keluarga. Padahal, data-data menunjukkan bahwa permasalahan kesehatan reproduksi di Indonesia memiliki urgensi tinggi untuk diselesaikan.
Misalnya saja, penyakit HIV/AIDS di Indonesia mencapai 41.987 kasus pada 2020 (BPS, 2021). Ada pula kanker serviks yang kejadiannya mencapai angka 36.633 kasus pada 2020 serta menyebabkan kurang lebih 21.000 kematian (Katadata, 2021). Belum lagi permasalahan lainnya seperti tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia, serta kasus perkawinan anak yang menempatkan Indonesia di peringkat 7 dunia.
Permasalahan ini tentu saja sangat kompleks dan multidimensional, begitu juga dengan langkah-langkah penyelesaiannya. Meski rumit, tetap ada satu langkah yang cukup sederhana untuk bisa kita kerjakan. Salah satunya adalah dengan melakukan pendidikan seksual komprehensif.Â
Dilansir dari UNFPA, yang dimaksud dengan pendidikan seksual komprehensif adalah membekali generasi muda dengan seperangkat pengetahuan, sikap, dan kemampuan yang tepat untuk menjaga kesehatan dan hak-hak seksual-reproduktif mereka. Edukasi ini sangatlah krusial karena pengetahuan merupakan senjata pertama untuk mulai mengatasi masalah reproduksi—sebab kalau tahu saja tidak, bagaimana bisa melakukan langkah selanjutnya?
Pendidikan seksual komprehensif dapat dilakukan di lingkungan sekolah ataupun di luar sekolah, dimulai dari usia anak-anak hingga remaja, tentunya dengan muatan materi yang disesuaikan.Â
Misalnya, anak-anak bisa dikenalkan tentang jenis kelamin dan bagian-bagian privat tubuh yang harus dijaga dan tidak boleh disentuh orang lain. Pengetahuan yang disampaikan pun berkembang seiring usia, misalnya mengenai fungsi reproduksi dan menstruasi untuk remaja hingga kontrasepsi untuk remaja-dewasa.
Hal yang juga amat penting dalam pendidikan seksual komprehensif adalah validitas informasi yang disampaikan. Terutama ketika membahas tentang kesehatan reproduksi dan pencegahan penyakit-penyakitnya.Â
Tak jarang usaha edukasi yang diberikan saat ini masih banyak mengandung misinformasi atau mitos-mitos yang tidak terbukti secara ilmiah. Meskipun, tentu saja hal ini dapat dimengerti sebab tidak semua orang memiliki akses yang cukup lengkap mengenai pengetahuan tersebut.
Oleh sebab itu, di sinilah peran tenaga kesehatan—ataupun calon tenaga kesehatan—dibutuhkan. Sebagai orang-orang yang mendapat kesempatan untuk belajar mengenai fungsi reproduksi tubuh secara komprehensif, seharusnya tenaga kesehatan bisa turut aktif menyebarkan informasi-informasi tersebut dengan jenis media yang disesuaikan dengan target audiens.Â