Setelah lama tidak menulis di blog ini, sekarang saya nulis lagi berhubung sedang panas-panasnya masalah UN atau Ujian Nasional yang pelaksanaannya kacau.
Pagi ini saya menulis postingan di group Facebook Ikatan Guru Indonesia (IGI) seperti berikut:
UN sebaiknya dijadikan pemetaan untuk data Depdikbud, jadi Depdikbud bisa tahu kekurangan setiap sekolah dimana, mana yang perlu diangkat agar mencapai standard. Jadi bukan siswa yang jadi objek penderita tapi sekolah (satuan pendidikan). Dengan demikian bukan siswa yang kena dampaknya (tidak lulus/tertekan secara psikologis) tapi sekolah/satuan pendidikan yang kena sanksi jika tidak berhasil mencapai target standard nasional (Kepsek, guru bahkan kepala dinasnya yang dipertanyakan).
Dengan kata lain, jika hasil UN tidak sesuai standard, maka siswa tetap lulus sesuai hasil Ujian Sekolah dan evaluasi selama 3 tahun. Sementara kepala sekolah, guru dan kepala dinas yang dimintai pertanggunaganjawab dan dimotivasi untuk lebih baik lagi ditahun berikutnya.
Siswa dan masyarakat juga tidak akan pusing untuk mencari-cari kunci jawaban melainkan sekolah yang akan berusaha memperbaiki mutu sekolahnya.
Banyak kalangan yang mengatakan bahwa UN dihapuskan saja, sementara di pihak pemerintah, bahkan di acara Indonesia Lawyers Club yang ditayangkan Selasa kemarin (24/4) pak Jusuf Kalla pun secara langsung mendukung agar UN tetap dilanjutkan.
Alasan pemerintah dan pak JK, pendidikan kita perlu standard agar tidak kalah dengan negara tetangga. Maka UN dijadikan sebagai Standard Nasional.
Saya sendiri secara pribadi dan sebagai guru, tidak setuju dengan UN.Alasan saya, sistem standarisasinya yang tidak tepat. Tidak tepat karena yang menjadi objek penderita adalah siswa yang belajar selama 3 tahun, mempelajari 17 bidang studi dan pada akhirnya kelulusan mereka dipengaruhi oleh UN 6 bidang studi dalam waktu 4 hari.
Sistem UN ini menurut saya sangat salah karena amanat UUD 1945 adalah “Mencerdaskan kehidupan bangsa” bukannya “Menguji kecerdasan bangsa”.
Saya setuju bahwa diperlukan Standard Nasional untuk mengukur pendidikan kita, tetapi objeknya ya jangan siswa dong. Siswa yang belajar 3 tahun harus stress bahkan tertekan secara psikologis pada akhir waktu sekolah mereka di mana di semester 6 (Kelas 3) mereka bukan lagi belajar tapi “dipaksa” untuk bisa menjawab soal-soal melalui kegiatan-kegiatan Tryout demi kelulusan di UN.
Untuk membuat Standard Nasional Pendidikan, sebenarnya yang perlu dievaluasi (dijadikan objek) bukanlah siswa melainkan sekolah (satuan pendidikan), jadi seharusnya UN itu dilaksanakan untuk mengukur (memetakan) kemampuan setiap sekolah (satuan pendidikan) apakah bisa mencapai Standard yang pemerintah harapkan.
Jika sekolah tidak berhasil mencapai standard (Nilai UN rendah) maka siswa tetap diluluskan berdasarkan evaluasi 3 tahun mereka belajar dan Ujian Sekolah. Kemudian pemerintah berdasarkan hasil UN rendah tersebut melakukan evaluasi terhadap sekolah tersebut, apa yang menjadi penyebab tidak tercapainya Standard Nasional di sekolah tersebut. Apakah fasilitasnya yang kurang, gurunya yang tidak profesioanal, kepala sekolahnya yang tidak memiliki kompetensi atau mungkin Kepala Dinas nya yang bermasalah. Kemudian pemerintah memberikan solusi dan membantu sekolah tersebut hingga bisa mencapai Standard Nasional.
Inilah yang seharusnya dilakukan Pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia, bukan dengan menghabiskan miliiaran uang negara untuk “menguji kecerdasan” anak-anak bangsa sementara standard pendidikan di setiap sekolah (daerah) berbeda-beda. Ingat, amanat UUD 1945 adalah “Mencerdaskan kehidupan bangsa” jadi jangan biarkan para “oknum” yang mengatasnamakan pendidikan mencederai dan menekan kehidupan anak-anak bangsa kita dengan menghabiskan anggaran pendidikan hanya untuk sesuatu yang tidak berguna.