Mohon tunggu...
Romy Dinasty Samudra
Romy Dinasty Samudra Mohon Tunggu... profesional -

Content Strategis at PT. Bumi Dinasty\r\n\r\nAnd Social Activist at Bumi Dinasty School. Entrepreneur, Buzzer, Public Speaker, Brand & Digital Marketing Consultant.\r\n\r\nInnovate nothing to be something & develop nobody to be somebody!\r\n\r\nMy name is easy to remember. My work is hard to forget.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibu, Ayah, Inilah Aku!

3 Desember 2013   12:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:23 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ibu, Ayah. Inilah Aku!

Berbicara mengenai orangtua, merekaadalah mutiara hati, pelita hidup, penopang jiwa dan raga bagi anak-anaknya. Hadis mengatakan, ‘Surga itu ditelapak kaki Ibu’. Hadis tersebut mengandung sebuah kebenaran yang layak direnungkan.

Seorang anak wajib membalas pengorbanan orangtuanya. Menurut saya, semuanya untuk Ibu dan Ayah. Jangan sampai kita menyesal, ketika satu persatu dari mereka mulai berubah menjadi kenangan. Jangan sampai kita meronta-ronta menangis kehilangan, ketika nama mereka terukir dengan indah di atas batu nisan.

Saya; Guntoro, adalah satu diantara kalian yang menghargai dan menjujung tinggi arti dari kata ‘Orangtua’ Ibu dan Ayah kita. “Nanti, Le kalau kamu sudah bisa sukses, semua ini akan berubah. Jadi orang itu mbok yo seng sabar.” Kata-kata itu masih kekal hingga saat ini didalam telinga dan pikiranku.

“Sabar, sabar, sabar… sampai kapan aku harus sabar, Bu? Sampai rambut ini beruban?”

Wanita tua itu hanya bisa pasrah saat aku berkata seperti itu, seakan-akan dia meng-iyakan apa yang barusan keluar dari mulut ini.

“Wes tho, Le. Allah itu ndak akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan umatnya.” Celoteh Bapakku, tiba-tiba ia muncul dari balik pintu.

“Guntoro harap itu bukan hanya sekedar pepatah atau pribahasa saja, Pak” Tanpa berpikir panjang lebar lagi, aku mulai berdiri dari aktivitasku sebelumnya, bergegas keluar rumah tanpa mengucapkan salam pada sosok-sosok yang sangat berarti dalam hidupku.

“Guntoro benar, Pak. Kacang iku ora ninggal lanjaran!” Kacang iku ora ninggal lanjaran, adalah pribahasa dalam masyarakat jawa yang berartikan; Kebiasaan anak akan meniru orangtuanya. “Ibunya buat krupuk, ya anaknya juga akan mengikuti apa yang orang tuanya lakukan.”

Setelah mendengar apa yang barusan Istrinya katakan, laki-laki itu hanya bisa menggelengkan kepala berkali-kali. “Allah itu adil tho Bu.” Batinnya.

Hari-hari berlalu dengan begitu saja tanpa meninggalkan secercah kebahagiaan didalam hati keluarga Guntoro. Bahagia? Jangan bahas tentang kebahagiaan didalam kisah ini, untuk makan dalam keseharian saja setengah mati mencarinya.

***

“Hari ini kita tidak makan, Le.” Aku miris mendengar apa yang dikatakan Ibuku barusan.

Adik-adikku hanya bisa terdiam, terduduk lemah didepan pintu, perut mungil mereka mungkin mulai kelaparan.

Aku yang barusan pulang dari sekolahan, perlahan berjalan menuju kamarku, sejenak aku berpikir terdiam, merenung. Apa yang harus aku lakukan agar supaya mereka bisa merasakan sesuap nasi dihari ini? Sejenak, aku membuka tas sekolahku, laptop merek cina yang berwarna biru, kedua orangtuaku susah payah membelikan benda itu untuk keperluan sekolahku. Aku mulai berpikir; Mungkin jika laptop itu aku jual, uangnya bisa untuk kebutuhan rumah tangga keluargaku.

“Mau kemana kamu, Le?” Tanya Ibuku yang sedikit resah, “Kok bawa tas segala?”

“Guntoro ada kerja klompok dirumah teman, Bu.” Maafkan aku Bu, aku harus berbohong kepada Ibu.

“Hati-hati, Le”

Dalam perjalan menuju salah satu toko elektronik yang melayani jual beli barang elektronik bekas, aku mulai berpikir. “Ya Allah, jika nanti aku jual satu-satunya barang mewah yang aku punya ini, bagaimana jika aku mengikuti pelajaran disekolahan?” Nggak, tekatku sudah bulat, jika laptop itu tidak aku jual, dengan apa mereka bisa makan? Hidup itu susah, uang tidak akan jatuh dari langit. Hidup itu kejam, tidak mungkin kita selalu meminta belas kasihan orang lain.

Tak lama kemudian, tiba-tiba kedua bola mataku ini melihat sesuatu diatas rerumputan. Selembar uang berwarna biru, lima puluh ribu saat itu berada didepan mataku. Tuhan, inikah jawaban dari doaku? Namun, aku ragu untuk mengambilnya. “Ndak, itu bukan hak aku,” Namun, kalau tidak aku ambil, mau makan apa keluargaku hari ini? “Ya Allah, semoga ini adalah jawaban dari doaku.”

Waktu tepat menunjukan pukul lima sore, sejenak aku beristirahat dipinggir trotoar sembari melihat kendaraan yang berlalu dihadapanku. Jangankan motor, sepedah saja aku tidak punya. Sebelumnya sudah aku bilangkan; Hidup ini kejam dan susah!

“Bu, Pak, kalian dimana?” Semangatku memanggil-manggil nama kedua orang yang sudah berhasil membesarkanku saat ini.

“Ada apa tho, Le? Mbok, yo ngucap salam dulu. Ada apa kok kelihatannya wajah kamu itu senang sekali?”

“Ini, Bu. Guntoro bawakan makanan, ini juga guntoro ada uang, ini untuk, Ibu.”

Wanita paruh baya itu hanya bisa terdiam, bingung. Dari mana anakku dapat makanan dan uang ini?

“Kamu dapat semua ini dari mana?”

“Tadi Guntoro nemu uang lima puluh ribu di jalan, Bu. Yang lain mana, Bu?”

Kluarga kecilku dengan sangat lahap menyantap makanan yang aku bawa barusan, hatiku lega. Setidaknya mereka hari ini bisa makan, meskipun besok atau lusa, kita harus setengah mati mencari-cari sesuap nasi. Itulah keseharianku, berbeda dengan kalian, berbeda dengan teman-temanku yang terbiasa dengan kondisi lebih elegan. Sebaliknya, hidupku… menyakitkan.

“Minggu depan Guntoro mau ke Surabaya, Bu. Sama teman aku, katanya ada lowongan pekerjaan disalah satu mall.”

“Kamu sudah memikirkan itu dengan panjang lebarkan, Le?”

“Iya, Bu.”

“Mau makek uang apa kamu kesurabaya?”

“Jual laptoplah, Bu. Lagipula Guntoro sudah selesai ujian nasional, sekarang harus ada pengorbanan sebelum menuju kesuksesan. Kalau bukan Guntoro, siapa lagi tho, Bu?” Mata itu, mata indah itu mulai berkaca-kaca saat aku berkata seperti itu.

“Ibu ndak bisa melarang, Le. Kalau itu sudah menjadi keputusan kamu. Ibu hanya bisa membekali kamu dengan doa.”

Apa yang sudah menjadi keputusanku ini tidaklah seberapa, ini masih awal, perjalanku masih panjang, aku tidak tahu ketika sampai disurabaya nanti akan seperti apa kisahku. Ataukah lebih indah, atau mungkin malah lebih buruk dari pengalaman-pengalamanku sebelumnya? Aku pasrahkah semua ini hanya kepadamu, Ya Allah.

***

Pertama kali kaki ini berpijak di kota Surabaya, suasana berubah Sembilan puluh Sembilan persen dari kota kelahiranku. Padat, hampir disetiap lorong-lorng kota ini dipenuhi dengan manusia-manusia yang mungkin juga mengadu nasib dikota ini.

Kontrakan yang aku tempati hanya seukuran tiga kali empat meter, sempit dan panas. Hidup itu memang kejam, banyak cobaan yang harus kita lalui sebelum kita merasakan kebahagiaan.

Ternyata, semuanya tak sesuai dengan apa yang aku pikirkan. Menyakitkan, tak sesuai dengan janji-janji yang mereka umbar. Aku, di kota ini banting tulang menjadi kuli gudang. Berangkat pagi pulang malam.

Tak sampai dua minggu aku mengadu nasib dikota ini, akhirnya aku menyerah dengan keadaan. Aku berpikir; Ya Allah, lulusan sekolah menengah kejuruan, kenapa harus menjadi kuli gudang?

Aku pulang, dan saat itu aku hanya membawa uang tiga ratus lima puluh ribu, itulah penghasilan yang telah aku dapatkan selama hampir dua minggu menjadi kuli gudang di kota perjuangan; Surabaya.

Hari belum genap berganti dengan bulan, namun saat itu aku sudah memutuskan untuk kembali mengadu nasib pada kota Jakarta.

“Bulan depan, Guntoro mau ke Jakarta, Bu.”

Seketika mereka terkejut saat mulut ini berkata seperti itu.

Aku tahu, kehawatiran orang tua selalu ada pada anak-anaknya saat anak-anaknya akan memutuskan sesuatu yang menurut mereka itu sangat susah untuk anaknya lakukan dan jalankan.

“Opo kowe wes gendeng piye tho, Le?” Bapakku mulai sedikit marah saat aku berkata seperti itu.

“Iyo, Pak. Aku memang sudah gila! Aku sudah bosan hidup seperti ini terus, untuk makan saja kita harus menunggu belas kasihan tetangga? Bapak mau selamanya kita begini? Pak, kalau bukan aku, siapa lagi tho, Pak yang akan mengubah semua ini? Siapa lagi kalau bukan anakmu ini, Pak?”

“Mbok, ya cari pekerjaan di sekitar sini dulu.” Ibu juga sepertinya sepihak dengan Bapakku; Melarang keras anaknya untuk mencoba keberuntungan yang sudah jelas-jelas berada didepan mata.

“Bu, disini itu mau cari kerja apa tho, Bu? Aku harap, pribahasa kacang iku orang ninggal lanjaran, tidak benar-benar terjadi pada aku.”

Hening, seketika suasana mulai terasa sangat hening setelah keributan kecil itu terjadi dan berlalu begitu saja.

“Kalau tekat kamu sudah bulat untuk ke Jakarta, Bapak ora iso melarangnya, Le.”

“Aku ndak mau, Pak, Bu. Orang tuanya marut menyok, anaknya juga ikut marut menyok.”

Hatiku lega setelah Bapakku berkata seperti itu, ketegangan yang barusan terjadi, kini seketika mulai mencari dengan senyuman dari orang-orang yang sudah sangat sering merasakan pahit-getirnya tentang kehidupan; Bertahan dari kekejaman hidup yang sedang kita rasakan.

Satu bulan berlalu dengan begitu cepatnya, hari ini juga aku akan kembali angkat kaki dari kota kelahiranku; Blora. Slamat tinggal kepedihan, doakan aku agar bisa mengubah rasa sakit yang aku alami menjadi kebahagiaan.

“Jakarta iku kota panas dan kejam, Le. Bekali dirimu dengan sikap andap asor, rendah hati adalah kuncinya.”

“Iya, Pak. Bu, aku pergi dulu,”

Setiap perpisahan pasti selalu ada air mata, meskipun perpisahan ini hanyalah sementara. Namun aku yakin, Tuhan punya rencana untuk kedepannya.

Bu, doakan anakmu ini agar bisa menjadi apa yang Ibu inginkan ketika sampai di kota Jakarta nanti. Pak, jagalah Ibu dan adik-adikku, pastikanlah mereka baik-baik saja, karena tangan dan raga ini saling berjauhan. Hanya lengan doa yang bisa memeluk kalian semua.

Aku pergi, Pak, Bu. Cepat atau lambat, perihnya kehidupan ini akan segera aku akhiri.

Tuhan itu indah, seindah apa yang dia berikan kepadaku saat ini. Belum genap satu bulan aku berada di Jakarta, perlahan dan sedikit demi sedikit kebahagiaan mulai berada didalam genggaman. Disini, di kota ini, aku berusaha menjadi diriku sendiri, tetap rendah hati, dan berusaha untuk mengubah kebodohan menjadi keberanian untuk mencoba hal-hal baru.

Gaji masih dibawah rata-rata tidak menjadi masalah, sekecil apapun bentuknya, tetap saya syukuri, itu adalah rejeki yang aku dapatkan, yang penting bisa untuk aku kirim dikampung halaman. Melunasi tunggakan hutang-hutang kluarga, mengisi perut kluarga selama satu bulan di kampung halaman dan menyekolahkan adik-adikku. Senggaknya tidak sesusah dulu dan sesakit dulu.

Percayalah, setiap air mata pasti akan digantikan oleh tawa. Ini kisahku, bukan sekedar cerita fiktif murahan yang hanya beredar dipasaran. Ini kisahku, kisah kluarga kecilku, cerita perjuanganku.

Kak Guntoro disini Dek, jaga diri kalian baik-baik disana. Ibu, Ayah, inilah aku! Jaga diri Ibu dan Ayah baik-baik disana, karena kedua tangan Guntoro sudah tidak bisa lagi menuntun dan memeluk kalian. Guntoro, sayang kalian semua.

Ini kisah kehidupanku, inspirasi hidupku.

Tolong, Renungkanlah.

Sudahkah kamu mebalas budi orangtuamu?

Join at My Blog: http://romydinasty.blogspot.com/

Follow My Twitter: @Romy_Dinasty


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun