Gerimis membungkus kota Jakarta. Malam itu, seusai pulang dari kantor, aku menyempatkan diri untuk melepas peluh, duduk disalah satu café yang ada di Jalan Gunung Sahari Mangga Dua. Sayup-sayup terdengar alunan musik melankolis yang seakan-akan memaksaku untuk menangis. Aku duduk di pinggir jendela kaca yang berembun karena cipratan air hujan. Selang satu-dua-tiga menit aku mengeluarkan laptopku, menyempatkan diri untuk menyelesaikan deadline kantor yang telah aku terima. Café ini suasananya cukup tenang, pengunjungnya tak begitu ramai dan tak begitu sepi. Tempat seperti inilah yang aku cari.
Pelayan café mulai menghampiriku untuk menawarkan menu yang ada di café itu. Aku sudah hafal menu favoritku di café ini, “Saya pesan Chicken Breast, minumnya Sky Blue Punch ya, Mbak.” Pelayan itu hanya segera menulis apa yang aku pesan.
“Baik, Mas saya ulangi sekali lagi, untuk pesannya satu Chicken Breast dan satu Sky Blue Punch. Ada tambahan lain, Mas?”
Aku hanya menggelengkan kepala lalu kembali lagi terfokuskan kepada laptopku. Sudahlah, aku pikir tidak ada salahnya sejenak melupakan pekerjaan dan menikmati suasana yang ada di café itu. Sudah terlalu lama aku terfokuskan dengan pekerjaan yang aku tekuni belakangan ini. Sejenak aku teringan kepada seseorang yang jaraknya beratus-ratus kilo meter dari sebrang sana. Seseorang yang sudah sekian lama mengisi kekosongan hati ini.
Iya, sosok itu adalah kamu Adinda. Sudah sekian lama ini kamu tidak ada kabar. Ratusan E-mail yang aku kirim ke kamu tak satupun terbalaskan. Sebenarnya apa yang terjadi disana? Aku hanya ingin memastikan kamu disana baik-baik saja, mendengar sapaanmu dari ujung telephon saja aku sudah bahagia. Tak lebih dan tak kurang. Jarak tak akan bisa menjadi penghalang, jika masing-masing dari kita saling menjaga hati.
Makanan yang aku pesan mulai datang, aroma sedap yang tercium dari Chicken Breast mulai hambar, bercampur dengan aroma air hujan. Aku menatap ribuan siluet yang ada diluar sana. Kaca café masih sangat berembun, tirta semakin deras mengguyur kota Jakarta.
Kosentrasiku yang semula berfokus untuk mengerjakan Deadline dari kantor, kini seketika rusak hanya karena bayang-bayangmu yang mengepul seperti asap rokok diatas kepalaku. Entahlah, aku terlalu sering memikirkanmu, aku terlalu takut untuk kehilanganmu. Perasaan itulah yang sudah berulang kali berhasil merusak hari-hariku, menyeretku untuk segera berjumpa denganmu.
Aku memutuskan untuk menulis surat yang akan aku kirim kepadamu. Ini akan menjadi surat kesekian kalinya yang akan aku kirim ke E-mail-mu. Jemari tanganku mulai lincah menuangkan segala kegundahan hati dan pikiran kedalam surat yang aku ketik untukmu.
“Untuk kamu, Adindaku… Ini adalah surat kesekian kalinya yang aku kirim untukmu. Aku sudah mulai kehabisan kata-kata untuk berbicara; Memohon kepadamu agar segera menanggapi apa yang aku rasakan. Aku disini masih memikirkanmu, merindukanmu, bahkan hati dan perasaanku selalu memanggil-manggil namamu. Sebenarnya jarak tak akan menjadi alasan, atas perasaan kita yang saling bertautan. Walau aku dan kamu terpisah ratusan kilo meter, namun tak akan sesakit ini bila kita saling menjaga hati dan perasaan.
“Ingatkah kamu saat kita masih bisa saling memeluk dan melepas rindu sesuka hati? Kamu berjanji akan selalu menjaga cinta ini. Namun mana apa yang aku dapatkan? Jangankan saling menjaga hati, suaramu saja jarang dan bahkan sama sekali tidak pernah aku dengar kembali dari sapaanmu di ujung telephon. Mana janjimu dulu?
“Ketika kamu memilih untuk menjauh dariku, rasa cinta ini semakin menggebu-gebu. Entahlah, mungkin aku terlalu percaya dengan bisikan manismu, mungkin aku terlalu memegang janji-janji manismu. Awalnya aku rasa mungkin kita akan bahagia, awalnya kurasa kisah kita akan menjadi manis, namun nyatanya kau berikan luka yang sangat begitu miris.
“Aku terlalu takut, terlalu pengecut untuk lepas darimu. Tolong, aku hanya ingin kepastian darimu, jangan diam-diam seperti ini kamu pergi tanpa sebab dan alasan yang pasti. Aku hanya ingin penjelasan darimu, tentang kepastian hubungan kita yang sudah kita jalin selama ini.”
Kursor Laptop-ku mulai menekan tombol Send. Satu lagi curahan hatiku aku kirim kepadanya. Rindu ini terlalu mencekik kuat hatiku. Tolong, jangan kau buat semuanya menjadi serumit ini. Kita berdua telah dewasa, sudah sewajarnya untuk memperjelas semuanya.
Untuk seseorang yang aku panggil Adinda,
Yang memilih pergi,
Tanpa sebab dan alasan yang pasti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H