Tanpa bermaksud sentimentil ataupun menonjolkan ke-melancholi-an Bhre & Bunda, sunset at Parangtritis. Langit sore mengiringi sang mentari yang akan berpulang ke haribaan bumi. Langit sore semacam langit di bumi Majapahit, mengiringi kemenangan Bekel Gajah Mada dan para Bayangkara atas keburukkan siasat para Wenehsuka; Ra Kuti, Ra Tanca, Ra Banyak.. Masih dia membara, meski jelas telah paripurna tugasnya sepanjang hari ini; membangunkan Kinanthi untuk berkokok dengan semburat fajar nan merdu, menemani keceriaan para tunas bangsa menuju bangku sekolah, membantu para pahlawan berkubang lumpur yang sedang menantikan keringnya bulir gabah hasil panen, mengeringkan cucian seisi jagad raya yang akan segera disetrika, mengisi solar-cell dengan daya linuwih Sang Pencipta untuk dirubah menjadi jutaan volt demi penerangan dan kesejahteraan umat manusia, tak lupa menerangi sisi-sisi gelap di bawah naungan rain-forest bagi para perambah hutan.. Masih dia membara, hingga pixel terakhirnya, meninggalkan jejak merah merona, ataukah jingga? Aku terdiam. Seakan dicubit oleh Gusti Ingkan Murbeing Jagad, alam raya selalu memberi kita contoh, bagaimana menghadapi hidup, bagaimana menjalani hidup, bagaimana memaknai hidup, bagaimana mensyukuri hidup. Masih dia membara, mengingatkanku, "Teruslah bersinar, hingga saat kau lenyap. Sisakanlah rona warnamu bagi dunia, beri mereka harap akan hadirmu esok." Sang Srengenge Surya Baskara kini telah tertidur, pulas dalam dekapan Ibu Pertiwi. Benarkah dia tidur? Mentari si Bola Api, menyusun kekuatannya, untuk kembali bersinar, melanjutkan tugas kesehariannya esok hari. Demi kita umat manusia.. "..one united world, under GOD.." (13 Oktober 2008, 19:08 WIB)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H