Bosan berkomentar politik, apalagi melihat berita televisi nasional di Indonesia, hari ini Jumat 27 Juni 2014 ummat Islam di Indonesia akan menyambut bulan Rhamadhan(wulan puoso). Sejenak kita move on dari gejolak caci maki politik yang tidak merubah kehidupan kita kedepan.
Saya akan membahas bukanlah dari ayat-ayat Qur’an dan hadis-hadis berkenaan dengan wajibnya puasa dan amalan-amalan yang dianjurkan. Studi fenomenologis bukan pula semata-mata puja-puji dan sugesti untuk memborong segenap kebajikan yang diiming-imingi selama Ramadan.
Hassan Hanafi—intelelektual Mesir yang suka mengunakan pendekatan ini dalam studi agama—mengatakan bahwa studi fenomenologis Ramadan merupakan upaya menyelidiki fakta Ramadan sebagaimana dipraktikkan suatu masyarakat tertentu (ramadhân fil mumârasât al-ijtimâiyyah). Dengan pendekatan ini, kita menguji sejauh mana unsur-unsur yang normatif dalam agama jadi bermakna dan diwujudkan dalam kenyataan di suatu masyarakat. Dengan itu pula, kritik sosial jalan dan mendapat ruang
Di bulan Rhamadhan ini. Tuhan betul-betul maha pemurah. Derajat pahala Ia lipatgandakan(dosa pun demikian). Setan-setan di kerangkeng. Itulah kenapa semua orang Islam sepakat, Ramadan adalah bulan penuh berkah. Tapi sebagai seorang mahasiswa antropologi agama, Saya mencoba tidak berhenti di sini. selain penuh berkah, Ramadan di Jawa adalah bulan yang penuh ritus khususnya Cirebon, pada umumnya Jawa.
Ramadan di Jawa adalah sebuah rentang waktu yang luar biasa unik di mana sejumlah ritus dirayakan secara terus-menerus tanpa putus dan dinikmati dengan penuh kegembiraan dan sukacita. Dua ciri utama itulah yang membuat Ramadan di Jawa punya keunikan yang sukar ditemukan bandingannya di tempat mana pun.
Orang Jawa sudah memulai perayaan Ramadan sejak setengah bulan sebelum bulan penuh berkah itu datang. Sejumlah ritus digelar guna menyambut Ramadan: dari acara nisfu syaban, arak-arakan keliling kota, bersih desa, ziarah di kuburan, hingga padusan.
Di Cirebon ada kegiatan Munggahan, ada yang berziarah ke makam wali, ada yang Ziarah ke Maqam orang tua, syekh atau ulama penyebar Islam. Bisa juga dengan cara mandi di sungai, mandi di laut bahkan, ada yang membahagiakan kedatangan bulan Ramadhan dengan cara makan bersama-sama (babancakan) di pegunungan, di sawah, dan bukit-bukit.
Bagi Muslim di Indonesia, khususnya di Cirebon Jawa Barat, munggah adalah hari terakhir di bulan Ruwah,.Sehari sebelum memasuki bulan penuh suci dan penuh berkah. Bagi mereka, penyambutan terhadap bulan Ramadhan atau munggahan tak kalah pentingnya dengan beribadah puasa itu sendiri.
Namun, kita sering lupa mempertanyakan: adakah kata munggah dalam kosakata Arab, negeri kelahiran Islam dan bahasa Al Quran itu? Atau ada kah aturan dan kewajiban umat Muslim untuk menggelar Munggahan? Tapi tak perlu seserius itu dalam menyikapi Munggahan sebagai fenomena budaya masyarakat Islam Cirebon. Karena tujuan dari perayaan adalah bentuk nyata dari rasa syukur atas kehidupan. Begitu pula dengan Munggahan.Anggap saja ini sekadar berbagi.
Seperti yang dilakukan di lingkungan Keraton Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat, yang memiliki tradisi unik yaitu tradisi drugdad atau menabuh bedug yang merupakan peninggalan Wali Songo sebagai tanda dimulainya puasa. Tradisi drugdag adalah tradisi menabuh bedug untuk memperingati atau menyambut bulan suci ramadhan yang sudah dilakukan oleh para wali dalam menyiarkan agama Islam di Cirebon, Jawa Barat. Sampai dengan saat ini, Keraton Kasepuhan Cirebon masih setia menjalankan tradisi drugdad yang dilakukan H-1 puasa atau tepatnya pada hari Jumat sore ini.
Tradisi drugdad dilakukan dengan memukul bedug di dalam masjid Keraton Kasepuhan sehabis salat Asar atau pada sore hari menjelang malam sebagai tanda bahwa esok hari kaum muslim akan shaum.Uniknya, dalam hal menabuh drugdag atau bedug tak bisa dilakukan oleh sembarang orang, karena harus dilakukan oleh keturunan dari Keraton Kasepuhan.
Tradisi drugdad yang sudah dilakukan ratusan tahun ini, semata mata hanya untuk memperingati atau menyabut bulan suci ramadhan dan sekaligus memberitahu kepada warga sekitar keraton bahwa besok sudah akan memulai menjalankan ibadah puasa.
Pesantren Annadamah salah satu pesantren tertua di Jawa Barat ada juga tradisi drugdag atau lazim disebut dengan dugdag ada sebuah persamaan dengan drugdag di keraton Cirebon, yaitu di pukul satu hari menjelang puasa selepas salat Ashar.
Di Annadamah Pesantren dugdag sebagai sebuah petanda esok adalah puasa Rhamadhan, dugdag ini di pukul oleh para santri, jamaah saat ikut jamaah di Msjdid Agung Annadamah Pesantren Cirebon. Tentunya hal ini dilakukan atas perintah dari sang kiai sepuh di pondok Annadamah Pesantren.
Memukul beduk di masjid tidak hanya sekadar memberitahukan waktu salat telah tiba.Melainkan juga sebagai sarana komunikasi pengurus masjid denganmasyarakat untuk mengumumkan awal tibanya bulan Ramadan.Untuk mendapatkan nada yang enak didengar, setiap 20 menit sekali pemukul beduk bergantian memukul beduk. Gendang besar itu dibunyikan dengan tiga nada pukul yang berbeda-beda. Masing-masing nada memiliki kelainan sehingga suara beduk yang dibunyikan pada tengah malam itu memiliki kekhasan tersendiri
Ketika Ramadan datang, ritus-ritus lain dirayakan dengan intensitas yang makin kencang: acara buka puasa bersama, takjilan, tadarusan, taraweh, dugderan membangunkan sahur, nuzulul qurÃan, Pasaran, dll. Media massa, baik cetak maupun elektronik, juga merayakannya. Koran-koran menyediakan kolom khusus Ramadan. Acara tivi dipenuhi nuansa Ramadan, mulai sinetron Ramadan, lagu-lagu Ramadan, kultum, acara sahur.
Sebulan sebelum bulan Rhamadhan , dulu di kampung tersebut beberapa anak kecil, dewasa, baik laki-laki maupun perempuan . mereka mandi dengan air dari sumur terbuka, atau lazim di sebut dengan “Adus pitung sumur’. Mereka mandi selepas salat Ashar di hitung dari satu sumur ke sumur lainnya hingga jumlah tujuh sumur.
Yang juga menjadi khas di Cirebon adalah peran perempuan selama Ramadan. Tidak seperti di Maroko(Geertz, Islam Maaroko), misalnya, perempuan di Jawa mengikuti taraweh dengan leluasa, bahkan separuh jemaah taraweh biasanya perempuan. Peran perempuan juga menonjol dalam ritus- ritus lain, seperti selametan, ruwahan.
Ini sekaligus membantah pandangan umum peneliti asing yang kerap menganggap selametandan ruwahan adalah ritus milik laki- laki. Yang juga khas Jawa, Ramadan tak hanya jadi milik orang dewasa. Anak-anak ikut memiliki Ramadan. Jangan heran jika kita lihat anak-anak bisa leluasa bermainmain dan berlarian ke sana ke mari selama taraweh berlangsung, sesuatu yang tak akan kita temukan di Masjidil Haram, misalnya.
Orang dewasa (orang tua)Â tampak membiarkannya dan seakan ingin menanamkan kesan yang membekas kepada anak-anak tentang suasana Ramadan (semua orang di Jawa pasti punya kenangan manis tentang Ramadan di masa kecilnya). Semua itu dicatat dengan baik oleh anak-anak itu di buku catatan yang kelak akan diserahkan kepada guru agamanya di sekolah.
Ketika Ramadan berakhir, tidak berarti perayaan ritus itu usai. Sejumlah ritus seusai Ramadan masih menunggu. Dari mulai ritus mudik (yang oleh Cak Nur sebut sebagai puncak pengalaman sosial keagamaan orang Indonesia), takbiran keliling, shalat id, nyekar, sungkeman, salam tempel, makan ketupat, hingga enam hari puasa Syawal. Kemudian di susul dengan lebaran ketupat atau lebaran Syawalan.
Dengan memusatkan perhatian pada bagaimana ritus peribadatan itu dilakukan bagaimana jiwa Islam di kepala dan hati orang Jawa terlalu dalam untuk disepelekan sebagai melulu pengaruh ajaran Hindu-Budha seperti yang dituduhkan penganut Geertzian. (Nilai-nilai) Islam, dalam pengalaman pengamatan saya ini , tampak kuat. Seperti yang juga dikatakan Mark Woodward, Islam adalah kekuatan utama dalam iman dan ibadah orang Islam di Jawa dan bahwa Islam membentuk watak hubungan sosial dan keseharian di semua lapisan masyarakat Jawa.
Ritus selametan yang sering dirujuk oleh kubu Geertzian sebagai bukti sinkretik Islam di Jawa bagi Saya, juga saya kutip dari Woodward dan Andrew Beatty, mungkin memang dipengaruhi corak Hindu-Budha, tetapi bukan berarti sama sekali tidak Islami. Selametan dan ruwahan adalah ritus yang wadahnya Jawa tapi dengan intisari Islam. Kemudian dimana saya menemukan, melihat itu setelah saya masuk mempelajari Antropologi Agama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H