Mohon tunggu...
Rommy David Watuseke
Rommy David Watuseke Mohon Tunggu... Jurnalis - PLP

Ut Omnes Unum Sint, Ora et Labora, Small Is Beautifull

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Pemilu 2024: Memahami Dinamika Hirarki dan Kultus dalam Kancah Politik Indonesia

22 Oktober 2023   13:04 Diperbarui: 22 Oktober 2023   13:07 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilu yang dilakukan lima tahun sekali, bukan persoalan menang atau kalah. Sejatinya, Pemilu adalah pertarungan manajemen politik dari partai politik (parpol). Seperti  dalam rumus persamaan reaksi, sebelum dan sesudah reaksi adalah sama, artinya sudah barang tentu mereka yang menang, adalah parpol yang memiliki manajemen dan sistem pengkaderan yang terbaik.

Dari sebuah sumber menyatakan bahwa dalam suatu sistem politik, biasanya terdapat tiga fungsi yang hampir selalu ada. Ketiga fungsi tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, fungsi sosialisasi politik. Ini merupakan fungsi mengembangkan dan memperkuat sikap-sikap politik di kalangan masyarakat atau bagian-bagian masyarakat ataupun melatih rakyat untuk melaksanakan peran-peran politik, administrasi birokrasi, dan peranan yudikatif. Disini akan melibatkan keluarga, sekolah, media dan struktur-struktur politik yang ada di dalam masyarakat. Kedua, rekruitmen politik, ini merupakan penyeleksian rakyat untuk kegiatan politik dan jabatan-jabatan pemerintahan melalui penampilan media komunikasi, anggota organisasi, pencalonan pada jabatan tertentu, pendidikan, dan ujian. Ketiga, komunikasi politik. Fungsi ketiga ini bertanggungjawab terhadap mengalirnya informasi dari masyarakat dan melalui berbagai struktur yang ada di dalam sistem politik. Dalam sistem politik demokratis, komunikasi politik sering dianggap sebagai 'life blood' yang membuat sistem politik bekerja dengan baik. Dalam konteks ini, komunikasi politik mengalir tidak hanya dari penguasa politik atau pemerintahan ke masyarakat atau warga negara, tetapi juga sebaliknya. Apa yang sering disebut sebagai artikulasi dan agregasi kepentingan pada dasarnya berlangsung melalui mekanisme komunikasi politik dalam bangunan sistem politik.

Sejak bergulirnya reformasi sampai sekarang, ini berkaitan dengan kerinduan mengenai jamannya perubahan dan jaman menyatakan kebenaran yang selama ini menjadi rujukan. Kebenaran inilah yang secara exact dapat berubah sesuai fakta dan golongan tertentu untuk mencari sebuah impian. Impian itu menurut saya dapat berupa perolehan pengakuan, status, kedamaian dan kehidupan yang lebih baik. Ini juga menunjukan bahwa sebagai salah satu strategi para kandidat dalam memanfaatkan aspirasi-aspirasi kemakmuran untuk menarik hati rakyat. Sudah barang tentu, setiap kandidat mempunyai elektabilasnya masing-masing untuk mempertontonkan dan memperkenalkan diri, inilah aku dan pilihlah aku.

Secara Nasional, ada Delapan Belas Partai Politik yang akan bertarung dalam pemilu legislatif untuk memilih anggota legislatif yang akan duduk di DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota. Menurut data KPU (Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Daerah Pemilihan dan Alokasi Kursi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dalam Pemilihan Umum Tahun 2024), secara rinci, jumlah daerah pemilih di tingkat pusat DPR RI ada sebanyak 84 dapil dengan 580 kursi. DPRD provinsi ada 301 dapil dengan 2.372 kursi. Lalu terbanyak adalah DPRD Kabupaten Kota 2.325 dapil dengan 17.510 kursi, maka yang diperebutkan (secara nasional) adalah 20.462 kursi di 2.710 daerah pemilihan.

Pemilu legislatif masih empat bulan lagi, tapi suhu politik sudah terasa dan semakin memanas. Panggung politik pun mulai gaduh. Koran dan televisi bertaburan iklan dan statement politik. Ini bisa dirasakan pada semua kalangan. Dimana-mana kita bisa melihat atribut-atribut parpol telah dipancangkan. Baliho para calon legislatif bertebaran disudut-sudut jalan. Warna-warni atribut menandakan perang syaraf telah dimulai. Bukan rahasia lagi dan tanpa menutup mata, telah banyak pula para kandidat (Caleg) mulai bergerilya (underground), untuk mencari perhatian dalam wacanakan dan menawarkan konsep pada masyarakat. Di jejaring sosial pun tak kalah ramai, lembaga survei pun tak mau kalah, semuanya mencoba memotret seperti apa wajah politik Indonesia saat ini.

Kehidupan politik sebagai salah satu ekspresi -- improvisasional -- dari kehidupan sosial manusia. Kebebasan manusia dapat ditolerir sejauh ia sendiri dapat mengembangkan pikiran tentang tujuan-tujuan dan sarana-sarana kehidupannya dan sejauh ia dapat mencoba untuk bertindak sesuai dengannya. Ia bebas karena ia mampu untuk melihat ruang gerak dengan berbagai kemungkinan untuk bertindak yang sudah tersedia atau diciptakannya sendiri, dari padanya ia dapat memegang salah satu.

Potret politik Indonesia saat ini, mungkin saya bisa bagi menjadi dua bagian, yang pertama yaitu: HIRARKI dan yang kedua, yaitu: KULTUS. Hirarki dan Kultus, merupakan mutualisme yang sudah menggurita.

HIRARKI secara abstrak bisa dijabarkan sebagai tingkatan dari atas kebawah. Kalau dicermati menurut pandangan saya, sebenarnya adanya Hirarki dalam calon legislatif. Hirarki dalam hal ini merupakan strata yang sebenarnya dan sudah melekat atau menyatu dengan mereka. Mungkin ini tanpa disadari bagi mereka (kandidat) yang mencalonkan diri.

Hirarki Pertama adalah Kelas tertinggi (kelas konglomerat), disini merupakan kumpulan orang-orang sebagai pemimpin bisnis/pemilik perusahaan. Dalam kelompok ini, biasa mereka hanya bermain dibelakang layar, sekarang masuk ke gelanggang politik. Mereka sadar, politik ini berbiaya tinggi, sehingga punya daya tawar yang tinggi di partai. Disini mereka juga secara notabene ingin berbuat perubahan dengan mempraktekkan jiwa kepemimpin (pengusaha) sebagai pemangku kepentingan.

Hirarki Kedua adalah bisa dikatakan kelas Incumbent/Petahana. Kenapa demikian, karena mereka tetap mempertahankan apa yang telah jalani selama ini. Sebagai incumbent, umumnya mereka sudah memiliki pola dalam merawat konstituen. Oleh karena itu, sepanjang konstituen dirawat, loyalitas mereka yang mantap, logikanya mereka tetap bertahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun