Siang hari, matahari bersinar terik. Lin Lin si kelinci asyik bermain di rerumputan hijau bersama Sanwa si kambing kecil. Mereka tak menghiraukan panas yang dipancarkan sang surya. Lin Lin berguling-guling sambil makan rumput muda. Sanwa pun mengikuti setiap tingkah Lin Lin. Mereka bersahabat baik. Kedua binatang lucu itu pun berguling-guling sambil tertawa bahagia.
"Sanwa, yuk main egrang!" ajak Lin Lin. "Tanah di sini datar, pasti asyik kalau kita bermain egrang. Kita akan melihat lebih jauh." Lin Lin meyakinkan Sanwa.
Sanwa tampak berpikir dan menjawab, "Aku takut ketinggian Lin Lin. Aku belum pernah bermain egrang. Aku bisa jatuh dan pasti sakit."
"Sanwa, aku kan pandai bermain egrang. Aku bisa mengajarimu bermain dengan baik. Aku akan menjagamu!" Lin Lin meyakinkan Sanwa. "Kan bermain egrang tidak berbahaya. Ketika kita naik di bambu, kita bisa melihat pemandangan lebih jauh dan indah."
Sanwa tetap menolak ajakan Lin Lin. Lin Lin pun mengambil egrang dan mulai bermain. Dia melangkahkan egrang dengan gesit, segesit ketika dia melompat. Lin Lin tampak ahli bermain egrang. Mata Lin Lin tertuju ke arah depan, dia melihat ada sebuah pohon apel yang berbuah lebat. Kemudian dia mengambil gawai dalam kantongnya. Dengan cekatan, dia memotret pohon apel yang menggiurkan itu.
"Sanwa, lihat. Apa yang aku potret." Lin Lin menunjukkan foto pohon apel.
"Wah, enaknya. Betapa nikmat jika panas-panas seperti ini, kita makan apel ya Lin!"
"Bagaimana kalau kita ke sana. Kita bisa memetik beberapa buah dan dahaga kita akan segera hilang!" Lin Lin tampak bersemangat.
Mereka pun berjalan menuju pohon apel yang dipotret Lin Lin. Jarak pohon apel dengan tempat bermain mereka cukup jauh. Lin Lin tidak lupa membawa egrang.
Kedua binatang itu pun saling pandang. Ternyata pohon apel itu tinggi. Lin Lin melompat sekuat tenaga, tetapi belum berhasil. Sanwa mencoba memanjat, tetapi belum sampai satu meter, Sanwa sudah melorot ke bawah lagi. Lima belas menit berlalu, mereka berdua belum mendapatkan satu apel pun. Dahaga semakin melanda. Tenggorokan Sanwa tampak kering begitu juga Lin Lin.
Mereka duduk di bawah pohon apel, menunggu angin yang mungkin akan menjatuhkan satu atau dua apel. Setengah jam berlalu, angin tak juga berhembus. Bahkan sepoi pun tidak. Mereka dalam keputusasaan.