Pas menjelang akhir tahun kelulusan sekolah, setiap siswa kelas 3 SLTA (tingkat XII) mengalami ke”galau”an luar biasa. Satu sisi harus mencurahkan segala daya otak untuk menghadapi Ujian Nasional (UN). Di sisi lain, siswa dihadapkan pada lembaran baru kehidupan bernama “masa depan” bagaimana dan apa yang hendak diperbuat?. Satu langkah yang tepat akan mengantarkan menuju singgasana kesuksesan. Namun, satu gerakan yang salah akan menyebabkan encok si Bapak kambuh setiap hari karena harus membanting tulang memeras otak demi anak yang tak jelas juntrungannya. Kemampuan bahasa verbal si Ibu-pun meningkat, bukan saja tata bahasanya, intonasinya juga (Woi yuang, jago lah lai! Lalok ka lalok se karajo ang – dengan nada dasar “B” alias BERANG). Wajar saja, siswa dan orang tua siswa, semua bergalau ria menyambut penghujung masa sekolah.
Bagi orang tua yang pondasi ekonomi-nya kuat nyaris tak ada masalah yang berarti dalam menghadapi masa akhir sekolah. Si anak boleh pilih ingin melanjutkan pendidikan seperti apa dan di mana saja. Beruntung pula buat orang tua yang punya anak cerdas dengan segudang prestasi mentereng, tentunya bisa memilih sekolah-sekolah yang bersifat ikatan dinas dari institusi pemerintah maupun BUMN/swasta terkenal.
Namun, bagaimana dengan yang serba “pas-pasan”? (Ekonomi pas, otak pas, prestasi pas). Sepertinya kelompok “pas-pasan” ini dihadapkan pada pilihan sulit; - Melanjutkan pendidikan anak sampai ke Perguruan Tinggi rasanya terlalu berat dari segi ekonomi, iya kalau kuliah-nya benar, kalau tidak? “Minyak abih samba tak lamak” (uang habis, studi-pun tak selesai). – Menyarankan anak agar ikut seleksi PNS/TNI/POLRI. Waduh! Sepertinya poin ini yang paling berat karena selentingan kabar di negeri ini untuk menjadi PNS/TNI/POLRI kita harus merogoh kocek dalam-dalam (ndak takao di Amak doh, yuang). Dan, ini poin yang geli-geli nikmat;
[caption id="attachment_178469" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi"][/caption]
Tidak jelas kapan istilah “merantau” pertama kali dipopulerkan, karena pada kenyataannya perilaku berpindah tempat untuk mencari penghidupan yang baik sudah dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW, terlepas apakah ada persamaan arti kata antara “merantau” dengan “hijrah”, yang jelas bagi saya keduanya memiliki kesamaan pemahaman.
Banyak orang dari berbagai suku atau etnis yang merantau, di antaranya kaum pria Minangkabau saat menginjak kategori usia dewasa muda (20-30 tahun). Pergi merantau hampir merupakan suatu kewajiban, apalagi bila si pria masih belum mampu secara finansial untuk memenuhi tanggung jawab keluarga, sementara ia telah berada dalam rentang usia siap menikah. Namun belakangan hari kebiasaan merantau juga dilakukan oleh kaum wanita. (Saat ini, daerah rantau tak hanya bersifat domestik saja namun mencakup juga wilayah mancanegara)
Untuk pergi merantau yang paling dibutuhkan adalah tekad dan keberanian untuk mencari penghidupan di negeri orang. Kerja keras adalah kata kunci agar bisa bertahan di rantau. Pada bagian mana yang saya maksud merantau bisa membuat anda “geli-geli nikmat”?
-Pada awal masa merantau situasi jauh dari orang tua dan keluarga inti akan menimbulkan paradoks; ruang kebebasan maksimal namun ruang perut minimal. Anda tak perlu lagi mendengar ocehan Amak setiap pagi, atau perintah Abak sekedar mencari rumput untuk pakan ternak. Tapi ingat, karena keterbatasan uang, jatah makan turun drastis, badan kurus, dan anda akan menjadi sumber pendapatan utama produsen teh karena (saya jamin) setiap hari anda akan minum teh manis hangat sebagai penghilang rasa lapar.
-Bertemu banyak orang dari lain etnis dan suku akan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan anda tentang budaya bangsa yang majemuk. Namun bersiap-siaplah jauh dari kampung halaman jika sudah kepincut cinta kepada orang dari lain etnis.
-Buat yang selalu fokus pada tujuan utama merantau (tentunya dengan beraneka macam target) seperti melanjutkan studi, bersabarlah! Cepat atau lambat anda akan mendapatkannya (Tuhan selalu punya cara untuk mengabulkan doa anda). Celakanya, buat yang fokus-nya berubah-ubah (labil: biasanya karena salah pergaulan, terjebak dalam arus modernisasi) bersiaplah untuk melalui tahapan tersulit hidup karena suatu saat anda akan terpaksa balik kandang, kembali membajak sawah, mencari rumput, atau jadi “agen oto”.
-Anda yang mampu merenung, serta mampu menggali potensi diri dengan sedikit kreatifitas hanya butuh menunggu selangkah lagi maka cita-cita akan anda dapatkan, sukses-pun menghadang di depan. Bagi yang kurang memenuhi semua persyaratan tadi, bersiaplah jadi “lebah pekerja” seumur hidup.
-Nasib baik; semua dapat terwujud jika nasib baik dan peruntungan bermurah hati singgah dalam kehidupan anda
Setiap usaha dan kerja keras tentunya akan lebih indah jika diiringi dengan doa dan kepasrahan diri kepada Tuhan. Selamat merantau dan semoga sukses mengejar cita-cita.
>> Salam paniang dari Jawa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H