[caption id="attachment_178471" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi"][/caption]
Syahdan, di sebuah "Negeri Antah Berantah" amat tersohor, namun paradoks; tanahnya amat subur lagi makmur tapi masyarakatnya banyak yang melarat. Pengabdi masyarakat hidup dengan penghasilan terbatas. Prajurit pembela Negeri-pun katanya dibayar dengan rendah. Alhasil, para prajurit berusaha mencari penghasilan tambahan dengan mengorbankan profesionalisme. Salah satu kelompok yang menjadi bulan-bulanan Sang Prajurit diidentifikasi dengan istilah distribusi "A" (A Kwok, A Lung, A Chai, A Tseng, dan banyak "A" lainnya.
Suatu hari, Sang Prajurit berkunjung ke sebuah toko di daerah Pecinan, sebut saja toko milik A Tseng;
Prajurit : "Koh, gimana jualan hari ini, rame ga?" (Mengawali pembicaraan dengan basa basi)
A Tseng : "Haiyyaa, lumayan, Pak. Owe hali ini dapak untung besa ha" (Dengan logat Glodok yang kental)
Prajurit : "Saya mau minta bantuan nih, Koh!"
A Tseng : "Haiyya, Owe bisa bantu apa?" (Sudah mulai harap-harap cemas)
Prajurit : "Saya minta uang rokok"
A Tseng : "Haiyya, gimana kalo Owe kasih lokok saja?" (lokok = rokok)
Prajurit : "Mentahnya aja, Koh, soalnya buat bagi-bagi di kantor" (Mentahnya = uang)
A Tseng : "Okeh okeh, nih!" (Sembari menyodorkan uang)