[caption id="attachment_99516" align="aligncenter" width="555" caption="foto : vivanews.com (doc. 2011)"][/caption] "Betapa tidak sensitifnya sebagian besar wakil rakyat kita di Senayan. Disaat banyak sekolah bagi anak cucu kita yang rusak, mereka menggunakan anggaran rakyat triliunan rupiah untuk mempernyaman diri. Betapa tidak masuk akalnya, ketika mereka setuju dengan rencana pemindahan pusat pemerintahan, tapi tetap saja keukuh mempercantik istana gedung DPR di Jakarta. Sungguh paradok negeri ini" (RM - Kebayoran Baru, 8 April 2011)" Saya teringat dengan pemberitaan media massa tentang anak SD yang bunuh diri karena tidak bisa sekolah. Atau ratapan anak-anak di desa terpencil karena bangunan sekolah mereka rusak. Atau cerminan putra-putri negeri ini yang belajar di bawah atap kelas yang bocor dan dibalik bilik bambu yang reot. Mungkin mereka tidak beruntung dibandingkan kita yang bisa mengenyam pendidikan dengan fasilitas sekolah yang memadai. Data pemerintah menunjukkan sebanyak 20,97 persen ruang kelas SD rusak, sedangkan di SMP sekitar 20,06 persen. Disebutkan lagi dalam berita Kompas (4 April 2011), sampai tahun 2011, ruang kelas SD yang rusak terdata 187.855 ruang dari total 895.761 ruang kelas. Di SMP, ada 39.554 ruang rusak dari 192.029 ruang kelas. Dana yang dibutuhkan untuk merehabilitasi ruang kelas yang rusak sebesar Rp 17,36 triliun. Padahal, seharusnya di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla ditargetkan perbaikan sekolah rusak selesai tahun 2008. Belum lagi sekolah-sekolah yang hancur akibat bencana alam yang terjadi sepanjang 2 tahun belakangan ini. Artinya pekerjaan rumah dalam bidang pendidikan nasional masih sangat berat yang membutuhkan kepedulian, dukungan, dan kontribusi dari semua lapisan masyarakat. Mayoritas yang Miskin Empati Mata, pikiran, dan hati kita seakan mati rasa, bahkan kehilangan rasionalitasnya ketika melihat keputusan wakil-wakil rakyat di Senayan pada Rapat Konsultasi Pimpinan Fraksi (7 April 2011) dan Sidang Paripurna (8 April 2011) yang menyetujui pembangunan gedung baru DPR dengan anggaran dana mencapai 1,138 T. Walaupun dengan dalih untuk meningkatkan efektifitas kinerja dan sudah mempertimbangkan efisiensi anggaran negara, kebijakan tersebut sangat melukai hati nurani rakyat. Ironisnya, gedung perkantoran DPR pun terlihat masih megah dan nyaman untuk mendukung kerja-kerja politik. Bahkan, gaji, tunjangan, dan fasilitas kedinasan yang mereka terima berlimpah. Apakah mereka sudah benar-benar menunjukan prestasi kepemimpinan politik sebagai penyalur aspirasi rakyat dan pejuang kepentingan rakyat, terutama bagi masyarakat ekonomi lemah. Lihat kasus Bank Century jalan di tempat. Kasus penggelapan pajak dan penegakan hukum lainnya seharusnya mendapat perhatian ekstra. Di samping itu, bagaimana mereka merumuskan perundang-undangan yang sensitif terhadap persoalan kesejahteraan masyarakat ekonomi lemah dan pemerataan pembangunan di penjuru nusantara. Banyak sekali aspirasi dan protes yang disampaikan oleh berbagai elemen dan tokoh masyarakat untuk menolak pembangunan gedung baru DPR tersebut. Namun, seakan kepekaan anggota DPR terkunci. MAYORITAS anggota DPR, MAYORITAS partai politik, atau MAYORITAS anggota partai koalisi pendukung pemerintah bersikukuh untuk mengesahkan rencana pembangunan gedung berbiayai selangit itu. Presiden pun sebagai simbol kepemimpinan nasional tidak tegas memberikan pandangan "menyetujui atau menolak", masih saja peragu. Sayangnya, MAYORITAS anggota DPR yang setuju berasal dari partai yang Beliau bina. Bayar Kepercayaan Rakyat dengan Bangun "Sekolah Layak" Triliunan rupiah gedung baru DPR pantas ditukar dengan ketercukupan anggaran pendidikan untuk memperbaiki infrastruktur sekolah di seluruh pelosok Ibu Pertiwi. Anggota DPR, penghuni gedung "cangkang hijau" di Senayan harus memperjuangkan kelayakan hunian belajar bagi para siswa untuk menciptakan generasi-generasi penerus bangsa yang unggul. Mereka bersama dengan anggota dewan yang lain di level provinsi dan kabupaten/kota dapat menginspirasi monumen-monumen "sekolah layak" di wilayah atau daerah pemilihan masing-masing. Partai politik sebagai instrumen keterwakilan mandat rakyat yang memiliki struktur dari pusat hingga daerah tidak luput dari tanggungjawab besar tersebut. Bagaimana mendorong alokasi APBD dan DAK yang pro terhadap persoalan perbaikan fasilitas pendidikan, disamping penggalangan sumber-sumber pendanaan lainnya. Inilah realita politik yang harus diterima oleh rakyat dalam sistem demokrasi Indonesia. Ketika pilihan MAYORITAS dalam Pemilu 2009 ternyata tidak berpihak untuk menyuarakan kepentingan konstituen. Memang, bagaikan menelan pil pahit. Kekecewaan rakyat itu pasti, namun asa perubahan dan kemajuan yang lebih baik tidak boleh padam. Dan generasi wakil rakyat PASTI BERGANTI. Semoga layer muda berikutnya yang nantinya MAYORITAS menduduki kursi Senayan lebih berempati.*) Sumber: Kompas, 4 April 2011: http://edukasi.kompas.com/read/2011/03/30/1123095/Soal.Sekolah.Rusak.Kita.Keterlaluan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H