Pada masa sekarang ini, siapa sih yang tidak pernah merasakan overthinking? Dari remaja hingga orang dewasa sepertinya pernah dihinggapi oleh perasaan overthinking.  Lalu, sebenarnya, apa sih overthinking itu? Menukil dari pendapat Wirdatul Anisa pada situs ugm.ac.id, ovethingking merupakan perilaku yang menggunakan terlalu banyak waktu untuk memikirkan suatu hal dengan cara yang merugikan, "Overthinking dapat berupa ruminasi dan kekhawatiran," Tambahnya. Tentu kekhawatiran di sini ialah kecenderungan pada aktivitas memikirkan prediksi negatif dengan berlebihan.
Overthinking cenderung berkutat kepada hal-hal yang tidak dapat kita prediksi, salah satu contohnya ialah tentang masa depan. Beberapa pertanyaan seperti apakah masa depanku akan bahagia? Kok belum dapat jodoh, apa aku kurang rupawan? Kok aku masih menganggur? Kok teman-temanku sudah pada sukses, ya? Kok bisa mereka jalan-jalan ke berbagai destinasi yang keren sementara aku tidak? Dan banyak lagi.
Atau, pernah gak sih kalian menghapus atau mengarsipkan unggahan Instagram kalian hanya karena like-nya sedikit? Pertanyaan seperti, apa yang salah ya? Apa aku tidak begitu disukai? Apa fotoku kurang cantik? Apa karyaku kurang bagus? Dan berbagai pertanyaan pesimistis semacamnya, sehingga membuat kalian berkutat kepada pikiran negatif. Alih-alih menjadikannya sebagai bahan evaluasi, kalian lebih memilih untuk berhenti mengunggah foto/karya kalian. Jika iya, berarti kalian telah terpapar overthiking.
Maka, buku karya Ratna Widia berjudul You Are Overthinking! sepertinya adalah buku yang cocok untuk kalian baca. Buku dengan tebal 210 halaman yang diterbitkan oleh Penerbit PSIKOLOGI CORNER Yogyakarta pada tahun 2020 ini akan mengajak kita untuk sampai ke sebuah pemahaman, bahwa pada dasarnya semua akan baik-baik saja.
Ratna Widia menganalogikan overthinking ibarat mendorong meja yang terhalang dinding, sia-sia dan tak ada gunanya. Menurutnya, bisa saja dengan terlalu banyak berpikir yang tidak-tidak malah akan membuat konsentrasi terpecah, sehingga aktivitas yang sebenarnya bisa dilakukan dengan baik malah salah kaprah.
Bagi saya sendiri, buku ini membawa saya kepada sebuah pemikiran untuk tidak menggantungkan kebahagiaan kita di tangan orang lain. Terlebih di era media sosial seperti sekarang ini, membuat saya sadar bahwa jumlah like dan komentar bukan satu-satunya penentu atau ukuran kualitas sebuah karya. Karenanya, jangan sampai hal tersebut menjadi penghalang untuk terus berkarya. Teruslah berproses dan berprogres memaksimalkan potensi yang kita miliki, bukan untuk menjadi orang lain yang kita anggap lebih baik, tapi menjadi diri kita sendiri versi terbaiknya kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H