Sejalan dengan tuntutan demokrasi guna memenuhi rasa keadilan masyarakat di daerah, memperluas serta meningkatkan semangat dan kapasitas partisipasi daerah dalam kehidupan nasional; serta untuk memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka dalam rangka pembaharuan konstitusi, MPR RI membentuk sebuah lembaga perwakilan baru, yakni Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Pembentukan DPD RI ini dilakukan melalui perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada bulan November 2001.
Sejak perubahan itu, maka sistem perwakilan dan parlemen di Indonesia berubah dari sistem unikameral menjadi sistem bikameral. Perubahan tersebut tidak terjadi seketika, tetapi melalui tahap pembahasan yang cukup panjang baik di masyarakat maupun di MPR RI, khususnya di Panitia Ad Hoc I. Proses perubahan di MPR RI selain memperhatikan tuntutan politik dan pandangan-pandangan yang berkembang bersama reformasi, juga melibatkan pembahasan yang bersifat akademis, dengan mempelajari sistem pemerintahan yang berlaku di negara-negara lain khususnya di negara yang menganut paham demokrasi.
Dalam proses pembahasan tersebut, berkembang kuat pandangan tentang perlu adanya lembaga yang dapat mewakili kepentingan-kepentingan daerah, serta untuk menjaga keseimbangan antar daerah dan antara pusat dengan daerah, secara adil dan serasi. Gagasan dasar pembentukan DPD RI adalah keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik untuk hal-hal terutama yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah.
Keinginan tersebut berangkat dari indikasi yang nyata bahwa pengambilan keputusan yang bersifat sentralistik pada masa lalu ternyata telah mengakibatkan ketimpangan dan rasa ketidakadilan, dan diantaranya juga memberi indikasi ancaman keutuhan wilayah negara dan persatuan nasional. Keberadaan unsur Utusan Daerah dalam keanggotaan MPR RI selama ini (sebelum dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945) dianggap tidak memadai untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut (www.dpd.go.id)
Dari uraian di atas sangat terlihat bahwa ada seribu niat baik untuk memuliakan daerah yang selama ini banyak diabaikan pusat dalam pengambilan keputusan. Daerah cenderung menjadi obyek pemerintah pusat dan belum dijadikan subyek dalam proses pembangunan. Ini memang merupakan problem klasik dalam membangun negeri tercinta bahkan ketika usia kemerdekaan sudah hampir mencapai tujuh puluh tahun.
Sebagai corong perjuangan daerah, DPD diharapkan bisa berperan lebih baik dalam memperjuangkan aspirasi daerah. Namun, kenyataan tak seindah harapan. Dalam panggung politik nasional suara DPD RI nyaris tak terdengar karena masih kalah nyaring dengan suara DPR RI. Apalagi publik sering mencatat bahwa DPR RI sering mengeluarkan suara gaduh demi membela kepentingan partai politik daripada kepentingan rakyat.
Menurut Bambang Sadono, anggota DPD RI provinsi Jawa Tengah, DPD RI belum bisa melaksanakan perannya secara ideal, sebagaimana dimaksud dalam UU MD3. Hal ini sangat dipengaruhi sistem ketatanegaraan kita yang masih dikuasai DPR. Padahal, kedudukan DPD RI sudah jelas dalam posisi setara dan tripartit, bersama DPR dan Presiden.
Sementara itu menurut A.M Fatwa, anggota DPD provinsi DKI Jakarta mengatakan, hingga kini DPD sering dijadikan ornamen demokrasi dalam system ketatanegaraan RI. Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012Tahun 2012 tentang UU MD3 yang memperjelas kedudukan DPD RI, sebenarnya bersifat mengikat dan memaksa. Namun DPR tetap saja lebih dominan dalam pengambilan keputusan kelegislasian (Wartamerdeka.com, 8 Juli 2015).
Sumber kelemahan
           Sumber kelemahan yang menyebabkan suara DPD RI kurang didengar oleh lembaga tinggi negara lain adalah kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang Dasar 1945 masih terbatas. Hal ini masih ditambah lagi dengan pembatasan kewenangan sebagaimana yang pernah terjadi pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau lebih dikenal dengan Undang-undang MD3.
Undang-undang MD3 ini pernah digugat oleh DPD RI di Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2012. Hasilnya, MK memutuskan sebagai berikut :
- RUU dari DPD harus diperlakukan setara dengan RUU dari Presiden dan DPR.
- Pembahasan RUU dilaksanakan oleh tiga pihak yang setara (tripartit), yaitu Presiden RI, DPR RI (bukan fraksi DPR RI), dan DPD RI.
- Penyusunan Prolegnas dilakukan bersama tiga lembaga (tripartit), yaitu Presiden RI, DPR RI (bukan fraksi DPR RI), dan DPD RI.
- DPD RI dapat mengusulkan RUU tentang pencabutan Perppu yang berkaitan dengan bidang tugas DPD RI.
- Putusan MK berlaku pada saat diucapkan(asas putusan berkekuatan hokum tetap dan bersifat final).