Menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 2009, penyelenggaraan meteorologi, klimatologi, dan geofisika dalam rangka menghasilkan data dan informasi memiliki peran strategis yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan nilai tambah dari berbagai kegiatan di sektor terkait. Selain itu, dimanfaatkan juga untuk meningkatkan keselamatan jiwa dan harta serta untuk mengurangi risiko bencana.
Penyelenggaraan meteorologi, klimatologi, dan geofisika diharapkan bisa melindungi kepentingan dan potensi nasional dalam rangka peningkatan keamanan dan ketahanan nasional. Selain itu, juga diharapkan dapat meningkatkan kemandirian bangsa dalam penguasaan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang meteorologi, klimatologi, dan geofisika dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Menurut Sekjen WMO Michel Jarraud dalam press releaseNo.971, sebagaimana dikutip Majalah Info BMKG Edisi 2/Tahun 2013, selama 30 tahun terakhir 2 juta orang meninggal dan kerugian ekonomi diperkirakan lebih dari 1,5 triliun dolar AS. Hampir 90 persen dari bencana tersebut, lebih dari 70 persen dari korban dan hampir 80 persen dari kerugian ekonomi disebabkan oleh cuaca. Bencana banjir, siklon tropis dan kekeringan, gelombang dingin dan panas yang memengaruhi seluruh dunia merupakan fenomena cuaca.
Ironisnya, angka melek informasi cuaca, iklim, dan gempa bumi di negeri ini terhitung rendah. Berdasarkan laporan dari Global Security Index tahun 2014, Indonesia menempati urutan ke-13 dalam daftar negara yang memiliki tingkat kesadaran informasi. Indonesia mendapatkan indeks poin sebesar 0,471 persen. Sementara, di kawasan negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia hanya menduduki peringkat kelima, di belakang Malaysia dan Singapura.
Tragedi Air Asia QZ8501 menjadi bukti bahwa maskapai penerbangan pun masih memiliki kesadaran yang rendah terhadap informasi cuaca. Tempo.co memberitakan bahwa bukti log book di Bandara Juanda, Surabaya, menunjukkan bahwa Air Asia QZ8501 terlambat mengambil data cuaca pada 28 Desember 2014. Petugas Air Asia mengambil bahan informasi cuaca sekitar satu setengah jam setelah pesawat tinggal landas pukul 05.20. Padahal data cuaca semestinya sudah berada di tangan pilot satu jam menjelang keberangkatan.
Dalam dokumen surat yang diterima Tempo dari pejabat pemerintah, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Andi Eka Sakya melayangkan surat ihwal perkembangan cuaca saat kejadian. "Khusus pada hal 7 (tujuh) terindikasi temuan log book di Stasiun BMKG Juanda, Surabaya, ditemukan bahwa Air Asia baru mengambil bahan informasi cuaca pada jam 07.00 WIB sesudah terjadi lost contact QZ8501 dan bukan sebelum take off.
Data log book di Juanda pun menunjukkan bahwa petugas operasional penerbangan atau flight operation officer Air Asia baru mengambil data cuaca pada pukul 07.00. Sedangkan pesawat tipe Airbus 320 itu lepas landas dari Juanda pada pukul 05.27, dan dinyatakan hilang kontak pada pukul 06.12 WIB. Kemudian pesawat itu ditemukan di perairan Karimata.
Tragedi Air Asia ini merupakan akibat dari budaya abai terhadap informasi cuaca. Di negeri ini acara prakiraan cuaca yang selalu disajikan oleh BMKG belum memperoleh sambutan yang layak dari masyarakat. Bahkan masyarakat mungkin merasa tidak membutuhkan. Hal ini berbeda dengan masyarakat Jepang yang sangat menghargai informasi cuaca. Sebelum berpergian, orang Jepang selalu melihat dulu informasi cuaca yang disebar secara luas melalui siaran televisi maupun internet.
Dua orang warga Indonesia yang baru tinggal di Jepang harus menderita malu gara-gara payung. Saat turun hujan hanya mereka yang berlari-lari diguyur gerimis di tengah khalayak yang membawa payung. Sebaliknya, ketika mereka membawa payung, tak seorang pun di dalam kereta api yang mereka tumpangi melakukan hal yang sama. Kisah ini ditulis oleh pemiliki blog yardapoteker.wordpress.com.
Bagi orang Jepang, alam bukanlah alasan menghentikan kegiatan. Fenomena alam yang kerap rutin harus disiasati. Itulah gunanya teknologi. Sebaliknya, bagi orang Indonesia, alam seolah tak perlu disiasati. Seperti didefinisikan Kroeber dan Kluckhohn (1952), manusia bisa dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan cara pandangnya terhadap alam. Pertama, kelompok tradisional yang ditandai sikap tunduk dan pasrah terhadap alam. Kedua, kelompok transformasi, yaitu yang berusaha mencari keselarasan dengan alam. Ketiga, manusia modern yang berhasrat menguasai alam.
Atas dasar tipologi itu, Koentjaraningrat (1987) memasukkan orang Indonesia dalam kelompok tradisional dan sebagian kelompok transformasi. Jadi, sekali pun mengantongi telepon genggam terbaru dengan fasilitas ramalan cuaca, orang Indonesia cenderung pasrah terhadap alam. Mereka akan menunggu alam bekerja dan malas menyiapkan diri menghadapinya.