Becakap dengan orang lain pastilah membawa kita dalam sebuah ranah bahasan tertentu. Permasalahan pribadi muncul dengan sendirinya karena arus obrolan yang kian intens. Tak canggung lagi membahas borok diri sendiri, keluarga, teman atau pasangan hidup, dan itu pun menjadi pantas untuk dikonsumsi.
Membuka sebuah pembicaraan terkadang terasa amat sulit ketika berhadapan dengan orang baru. Takut dan perkewuh menjadi alasan yang paling sering muncul dari lisan setiap insan yang saya temui. Hal itu pun tak begitu mengherankan karna saya hidup dalam sebuah kebudayaan yang masih menjunjung tinggi tenggang rasa. Di mana menjaga kenyamanan orang lain adalah prioritas.
Ya, saya hidup dalam kebudayaan yang telah mendunia yakni Kebudayaan Jawa. Cara hidup orang jawa selalu memposisikan orang baru di atas. Layaknya seorang tamu dalam restoran yang menerima tegur sapa halus dari pelayan.
Begitu indahnya perilaku ngajeni hingga seringlah muncul istilah perkewuh dalam bahasa sehari-hari. Perkewuh bermakna tidak enak hati atau merasa tidak nyaman. Seperti contoh, "aku perkewuh nek ora teko neng acarane de'e" (aku tidak merasa nyaman jika tidak mendatangi acara yang ia selenggarakan). Uniknya, jika sudah alasan dengan kata perkewuh, lawan bicara menjadi maklum dan hanya manggut-manggut saja.
Tak hanya populer dijadikan sebuah alasan, perkewuh juga sering muncul pada kalimat olok-olokan. Saya yang lahir sebagai orang Jawa sering melontarkan kalimat "Wong Jowo kie kakean perkewuh og" (orang jawa itu kebanyakan tidak enak hatinya), atau "nek perkewuh nyumbang" (jika tak nyaman maka berikanlah sumbangan) bersama kawan-kawan, sambil tertawa, "haha, hihi".
Sebagai orang Jawa, saya telah merasakan bagaimana kehidupan Jawa di tahun ke 2 milenium. Tidak begitu jelas dalam angan dan benak untuk membayangkan bagaimana mbah-mbah saya dulu hidup sebagai orang jawa. Tapi yang jelas rasa perkewuh selalu hinggap dan menubuh sacara turun-temurun. Hingga orang-orang dari suku-suku lain memuji orang jawa karena kesopanannya.
Perkewuh sebenarnya mengambil peran peting sebagai rem dari kebringasan ujaran dan tindakan. Layaknya sebuah semboyan "ajining diri dumunung aneng lathi, ajining raga ana ing busana" yang artinya seseorang dihormati karena ucapan dan kata yang keluar dari mulutnya, dan seorang dihormati karena penampilannya. Maka tak heran, jika seorang pendakwah atau seorang pejabat memiliki derajat yang tinggi dihadapan masyarakat khususnya Jawa.
Lisan Bersalah
Lisan adalah anugerah luar biasa yang diberikan Tuhan kepada manusia. Dengannya manusia mampu menggerakkan hal-hal yang secara praktis tidak dikuasai. Seorang presiden tidak perlu belajar mengendarai tank untuk menggerakkannya, dan seorang anak yang baru lahir tidak perlu menggerakkan tangannya untuk makan. Hanya dengan menggunakan sebuah bahasa dari lisannya benda-benda itu telah bergerak sendiri sesuai yang diinginkan.
Kedamaian dan kerusuhan terasa mudah untuk dibuat menggunakan indera wicara. Tak usah jauh-jauh melihat itu dalam fenomena berskala besar layaknya perang akibat politik kekuasaan. Karena keduanya pastilah kita temuai dalam sebuah obrolan kecil dengan teman sejawat.
Malam itu ketka saya dalam keadaan berhadap-hadapan, gurauan prasangka buruk pun keluar dari lisan hingga mengiris hati seorang gadis yang menjadi lawan bicara. Status Whatsappsnya pun tertulis "loroneknggoguyonyoramutu (keadaan sakit dibuat gurauan itu nggak mutu)" setelah ia pergi dengan membanting pintu. Dan tak perlu dijelaskan bagaimana perasaan saya setelah membacanya.