Seni pertunjukan adalah salah satu cara pendukung untuk membujuk wiasatawan-wisatawan domestik ataupun asing berkunjung ke daerah-daerah di Indonesia. Sekarang kita akan sering lihat pertunjukan-pertunjukan megah berlatarbelakang tradisi.
Budaya Seni Pertunjukan Tradisional adalah elemen budaya yang paling konkret yang bisa segera ditawarkan kepada wisatawank karena sifat universal seni tari dan musik sebagai pengiringnya lebih mudah untuk dinikmati (diapresiasi) wisatawan tanpa perlu keterlibatan yang mendalam; dan mudah dipaket/dikemas untuk didatangkan ke hotel-hotel, termasuk dipertontonkan ke luar negeri dalam wujud misi kesenian untuk promosi pariwisata (dalam http://www.kemenpar.go.id).
Fenomena ini mungkin juga terjadi di luar daerah Surakarta. PKL (Praktek Kerja Lapangan) beberapa waktu lalu di Madura, saya pun melihat gejala yang sama. Sebuah seni tradisi dipentaskan dengan cara-cara yang membius orang untuk datang menyaksikan. Kita akan lihat lampu warna-warni yang menghiasi panggung, hiasan-hiasan yang membuat acara terlihat glamor dan megah, serta hadirnya pejabat-pejabat pemerintahan yang beberapa memberikan sambutan.Â
Pemerintah Daerah khususnya bupati atau walikota pasti akan memproklamirkan himbauan sekaligus wacana untuk merawat dan melestarikan seni-seni tradisi, serta mempopulerkan seni-seni pertunjukan tradisi di tingkat nasional maupun internasional.
Wacana nasional yang sedang disosialisasikan pemerintah beberapa tahun terakhir sejalan dengan pemikiran John Nasbit (1995) yang mengatakan bahwa, "negara-negara yang kaya seni akan mengeruk banyak keuntungan, apalagi mampu mengelolanya secara profesional"(Zubin dalam Santosa, 2014:15).Â
Ibarat sebuah batu itu adalah seni pertunjukan, "tinggal dipoles sedikit dengan memasukkan nilai-nilai ekonomi, nilai jualnya setara bisa dengan  1kg beras". Maka tidak heran jika pemerintah daerah terus mengadakan hiburan-hiburan seni pertunjukan tradisi. Daerah pun akan semakin dikenal dan bertambahlah kas pemerintah daerah.
Ironi pun terjadi ketika kebutuhan konsumtif terhadap hiburan tradisi ini terpenuhi. Ada kalanya sebuah pertunjukan yang sebelumnya kental dengan nilai-nilai religius dan kesakralan berubah. Kita ambil contoh Tradisi Tiban dari Blitar yang merupakan tradisi memohon turunnya hujan. Tiban akan dilaksanakan ketika datangnya musim kemarau panjang, jika tidak Tiban tidak perlu diselenggarakan. Namun, saat ini kita akan sering menemukan Tiban menjadi pertunjukan hiburan.
R. M. Soedarsono menyatakan, "saya mendapatkan ciri-ciri seni pertunjukan wisata di negara berkembang; (1) tiruan dari aslinya; (2) dikemas singkat atau padat; (3) dikesampingkan nilai-nilai sakral, magis, dan simbolis; (4) penuh variasi; dan (5) murah" (R .M. Soedarsono, dalam Santosa, 2004:41). Kelima temuan di atas menggambar sebuah keharusan tatkala akan mengangkat sebuah kesenian tradisi menjadi populer.
Ngomong masalah seni pertunjukan bukan lagi membicarakan tentang salah satu cabang seni. Tetapi gabungan-gabungan dari seni tari, musik, drama, ataupun rupa yang dikemas sedemikian rupa dan mendukung satu sama lain. Seolah unsur-unsur tadi bisa dipisahkan, "minimal menggunakan dua unsurlah ketika ingin menampilkan sebuah seni pertunjukan".
Begitu pula musik yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Bahkan ada sebuah ungkapan, "hidup tanpa musik itu hampa, bagaikan sayur tanpa garam". Memang, kita tidak bisa menafikkan itu, tetapi bagaimana kita memandang musik?. Apakah musik itu hanya sesuatu untuk dinikmati indera pendengar?.
Sebuah disiplin ilmu multidisipliner yang dikenal dengan Etnomusikologi memberikan cara berbeda memandang sebuah musik. Musik tidak hanya dimaknai sebagi hiburan semata tetapi musik selalu terkait dengan segala aktivitas manusia. Dan riset-riset yang dilakukan oleh Para Etnomusikolog membuktikan hal itu. Salah satunya adalah hasil penelitian Alan P. Merriam yang tertulis dalam bukunya "The Antropology Of Music Chapter XI"(Merriam, 1964:209-228). Menjelaskan pula bahwa musik memiliki guna dan fungsi untuk kehidupan manusia.