Situasi sosial-politik Indonesia kembali bergemuruh semenjak munculnya wacana RUU Pilkada hingga ditetapkannya melalui voting sidang paripurna DPR RI padahariJumat, 26 September 2014 yang lalu. Sebagai public discourse (wacana publik), poin yang paling mengemuka dalam perdebatan ini adalah soal tatacara pemilihan kepala daerah. Apakah secara langsung oleh rakyat atau dipilih melalui DPRD? Ketegangan ini mengakibatkan terpolarisasinya elit-elit politik nasional/lokal namun juga masyarakat dalam dua kubu, yang mendukung dan menolak.
Ada beberapa alasan dari ‘kubu pendukung’ berkaitan dengan perlunya penerapan UU Pilkada yang mensyaratkan pemilihan kepala daerah melalui DPRD, diantaranya, borosnya ongkos politik pilkada langsung, persoalan korupsi, konflik pilkada, dan lain-lain. Untuk menyanggah itu, para ‘kubu penolak’ berargumen dengan lantang bahwa wacana-wacana ini diangkat dengan maksud mengembalikan demokrasi Indonesia pada kungkungan politics of order (politik keteraturan) orde baru.Demokrasi yang selama ini terbangun akan ‘dibajak’ dan menutup ruang bagi para aktor pro demokrasi untuk memperjuangkan kepentingan publik. Bagi mereka, mengembalikan proses pelaksanaan pilkada dari pemilihan langsung menjadi dipilih oleh DPRD tidak akan serta merta menjawab berbagai permasalahan.
Merespon dilema ini, bagaimana kita menyikapinya? Menurut saya, sangatlah perlu bagi kita untuk memahami secara jernih riuhnya gemuruh politik bangsa ini terutama karena bangsa kita telah memutuskan untuk ‘belajar’ berdemokrasi. Untuk itu, marilah kita berpikir ‘beyond’ (melampau) isu dilematis diatas dengan berpijak pada pemahaman bahwa proses demokrasi tidak melulu soal prosedur tata cara pelaksanaannya melainkan juga soal subtansi dari demokrasi itu sendiri yakni modernitas sosio-ekonomi rakyat.
Wajah Demokrasi Indonesia
Demokrasi yang selama ini kita pahami sebagai demokrasi liberal terutama dengan menyelenggarakan pemilihan umum langsung yang jujur dan adil, ternyata tidak serta merta mendatangkan hasil yang baik. Inilah gagasan yang sebenarnya berkembang akhir-akhir ini dalam studi-studi mutakhir tentang demokrasi dan demokratisasi. Faktanya, tidak semua masyarakat siap menjalankan demokrasi. Pengalaman bangsa kita dalam ‘berdemokrasi’ menunjukkan bahwa ketika demokrasi seolah-olah ‘dipaksakan’ di tengah masyarakat kita yang belum siap, justru melahirkan konflik berdarah dan perpecahan di daerah-daerah.
Berdasarkan data yang dirilis Ditjen Otda Kemdagri mengenai grafik kerugian yang disebabkan konflik pascapilkada di provinsi maupun kabupaten dan kota tahun 2005-2013 menyebutkan, jumlah korban meninggal dunia 59 orang, korban luka 230 orang, kerusakan rumah tinggal 279 unit, kerusakan kantor Pemda 30 unit, kantor polisi 6 unit dan kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah 10 unit (situs Kemendagri). Sungguh fakta yang fantatis mencengangkan serta serta mensiratkan sebuah harga yang sangat mahal bagi bangsa kita untuk ‘membeli’ demokrasi. Belum lagi soal mahalnya biaya politik pilkada yang sering digadang-gadangkan kubu pendukung UU Pilkada, memang cukup beralasan. Data Depdagri menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2008 saja terdapat 160 pelaksanaan pilkada di 13 provinsi, 112 kabupaten dan 35 kota yang secara keseluruhan biayanya mencapai sekitar Rp 200 triliun! Uang yang tidak sedikit untuk sekedar memberi makan sekitar 28 juta masyarakat miskin di negara kita.
Mahalnya derita yang harus kita tanggung itupun ternyata berbanding terbalik dengan output yang seharusnya kita dapatkan. Demokrasi Indonesia belum menunjukkan gejala-gejala menuju konsolidasi demokrasi yang sesungguhnya. Hal ini terlihat dari berbagai patologi yang terjadi seperti korupsi, politik uang, patronase pada tokoh, dan sebagainya.
Selanjutnya Bagaimana?
Fakta-fakta yang saya ungkapkan diatas bukan memberi maksud pesismistik dengan demokrasi dan arah demokratisasi yang sedang diusahakan selama ini. Namun justru ingin menujukkan bahwa perjalanan kita begitu panjang dan beresiko. Profesor Boediono, Wakil Presiden kita, yang juga adalah seorang ekonom, dalam pidato pengukuhan jabatan guru besarnya di Universitas Gadjah Mada, menyatakan bahwa resiko mendasar adalah bagaimana menjaga eksistensi dan keutuhan bangsa sepanjang perjalanan transformasi. Penguatan kesadaran berbagsa dan nation building harus menjadi bagian integral pembangunan Indonesia.
Resiko kedua adalah tingkat kemakmuran ekonomi masih rendah dan bisa mendorong kegagalan demokrasi. Oleh karenanya pertumbuhan ekonomi dan usaha-usaha untuk menghindari krisis ekonomi adalah prioritas.Dan risiko ketiga adalah kegagalan kelompok pembaharu (unsur-unsur reformis) untuk berkembang. Kalau sampai hal ini terjadi, maka transformasi akan berhenti di tengah jalan atau berbelok arah. Karenanya, kelompok ini perlu didorong dengan: (1) menjaga agar pertumbuhan ekonomi tersebar dan ditopang oleh good governance dan iklim usaha yang sehat, (2) mendorong perkembangan UKM, (3) mengupayakan penyatuan kekuatan pribumi dan non-pribumi, (4) menyediakan pendidikan bermutu bagi kelompok pembaharu dan (5) tetap menjaga keterbukaan dan interaksi kita dengan dunia luar.
Sedikit banyak saya sependapat dengan pendapat Prof. Boediono diatas terutama dalam upaya memprioritaskan pertumbuhan ekonomi. Namun yang perlu diwaspadai adalah melencengnya cita-cita pertumbuhan ekonomi tersebut yang bias pada penimbunan kekayaan pada pemilik modal besar maupun borjuase asing. Pemerintah harus benar-benar mengambil standing position sebagai penjaga rakyat miskin demi kesejahteraannya. Demikian pula dalam kaitannya dengan kedewasaan sosial, khususnya kelas menengah di Indonesia. Perlu ada langkah-langkah strategis dalam membangun demokrasi seiring dengan memodernisasikan kemandirian sosial masyarakat.
Dengan demikian saya rasa bukan soal Pilkada langsung atau lewat DPRD yang harus kita permasalahkan. Isu utama yang harus digulirkan justru apakah demokratisasi saat ini berada pada fase yang benar dan dibangun secara bertahap? Eratnya hubungan antara demokratisasi dan modernitas sosio-ekonomi akhirnya melahirkan antisipasi atas kedaulatan kekuasaan tetap berada pada kedaulatan rakyat, bukan pada elit.***
*) Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana FISIPOL Universitas Gadjah Mada, Jurusan Politik & Pemerintahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H