Mohon tunggu...
Romel Krismanto Malensang
Romel Krismanto Malensang Mohon Tunggu... Lainnya - Analis Keimigrasian Pertama

Riwayat Pendidikan: SDN 1 Poyowa Kecil (1997); SMP N 1 Kotamobagu (2003); SMK N 1 Kotamobagu (2006); Fisip Universitas Sam Ratulangi (2009); Pascasarjana Fisipol Universitas Gadjah Mada (2013).

Selanjutnya

Tutup

Politik

Globalisasi dan Perkembangan Demokrasi Negara-negara Berkembang

7 Juni 2015   02:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:19 2258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Globalisasi telah menghentarkan demokrasi menjadi sebuah isu global serta membawa suatu ‘keharusan’ bagi negara-negara di berbagai penjuru dunia untuk menjalankannya sebagai sarana yang paling ideal untuk menjalankan pemerintahannya. Oleh karena itu, tulisan ini dimaksudkan untuk membahas fenomena globalisasi serta kaitannya dengan perkembangan proses demokratisasi khususnya di kawasan negara-negara berkembang.

Kajian-kajian mengenai gelombang demokratisasi yang terjadi di berbagai belahan dunia sebagai konsekuensi adanya globalisasi telah menarik perhatian banyak pakar dalam banyak disiplin ilmu untuk mengkajinya. Anthony Giddens (1999) dalam bahasannya mengenai Jalan Ketiga menjelaskan bahwa pada awalnya globalisasi hanya dianggap berkaitan dengan perekonomian. Perubahan yang paling penting adalah diperluasnya peran pasar keuangan dunia, yang beroperasi pada hitungan waktu real. Lebih dari triliunan dolar per hari dijual dalam transaksi jual beli mata uang. Proporsi pertukaran keuangan dalam kaitannya dengan perdagangan telah melonjak lima kali lebih besar selama lima belas tahun terakhir. Namun, Giddens menambahkan bahwa gagasan mengenai globalisasi akan disalahpahami jika konsep itu hanya diberlakukan pada hubungan-hubungan harafiah; terutama, untuk hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi. Menurut Giddens, globalisasi bukan hanya tentang saling ketergantungan ekonomi, tetapi tentang transformasi waktu dan ruang dalam kehidupan kita. Peristiwa di tempat jauh, entah berkaitan dengan ekonomi atau tidak, mempengaruhi kita secara lebih langsung dan segera daripada yang pernah terjadi sebelumnya. Sebaliknya, keputusan yang diambil sebagai individu-individu seringkali memiliki implikasi global.

Giddens melihat bahwa globalisasi akan membawa akibat-akibat positif bagi demokrasi (liberal). Giddens menolak pandangan bahwa regulasi, keketapan normatif, dan kekuasaan negara dicabut sedemikian rupa, melainkan tetap dipertahankan untuk menjaga pasar sosial dari pasar bebas, sekaligus globalisasi akan menciptakan penalaran dan dorongan yang kuat tidak hanya pada transfer otoritas ke bawah, tetapi juga transfer otoritas ke atas. Untuk mencapai itu sebuah syarat mutlak yang harus dilakukan oleh negara adalah dengan memperluas peran ruang publik, yang berarti reformasi konstitusional, yang diarahkan pada transparansi dan keterbukaan yang lebih besar.

Sementara itu, Samuel Huntington (1991) dalam analisanya mengenai gelombang demokratisasi ketiga menunjukkan bahwa terjadi sekelompok transisi dari rezim-rezim yang non-demokratis ke rezim-rezim demokratis yang terjadi pada kurun waktu tertentu dan jumlahnya secara signifikan lebih banyak daripada tranisisi yang menuju arah sebaliknya. Berangkat dari analisa Huntington kemudian dapat kita jumpai bahwa proses demokratisasi terus menjalar sampai pada kawasan negara-negara berkembang yang kira-kira berlangsung pada periode gelombang demokratisasi kedua yang terjadi terjadi antara tahun 1943 sampai 1962. Negara-negara berkembang yang pada umumnya dikolonialisasi menuntut kemerdekaan setelah berakhirnya perang dunia kedua. Setelah mendapatkan kemerdekaan, banyak dari negara ini memilih demokrasi sebagai dasar menjalankan pemerintahannya. Anehnya, seiring proses globalisasi terus berkembang, negara-negara tersebut malah cenderung mengarah pada praktek negara yang otoriter.

Pertalian globalisasi dan demokrasi sebagaimana paparan diatas jika dilihat dalam tataran teoritis, sebenarnya merupakan suatu kewajaran. Merupakan suatu kewajaran mengingat bahwa bagi demokrasi, globalisasi akan menyumbangkan dua sisi sekaligus, yakni mendorong proses demokratisasi dan sekaligus menciptakan krisis demokrasi, atau bahkan kematian demokrasi. Berkaitan dengan hal itu, David Held (1995) mengemukakan lima keterputusan (disjuncture) pokok yang menyoroti pola-pola kekuasaan dan tekanan yang berubah yang sedang mendefinisikan kembali arsitektur kekuasaan politik yang berhubungan dengan negara bangsa. Pertama, hukum internasional. Perkembangan hukum internasional telah menempatkan individu, pemerintahan, dan organisasi nonpemerintah di bawah sistem pengaturan resmi yang baru. Hukum internasional mengakui kekuasaan dan tekanan, hak dan kewajiban, yang mengatasi klaim-klaim negara bangsa dan yang, meskipun dalam pelaksanaannya mereka tidak bisa didukung oleh institusi-institusi dengan keputusan memaksa.

Kedua, internasionalisasi pembuatan keputusan politik. Menurut Held, wilayah utama keterputusan kedua antara teori negara berdaulat dan sistem global kontemporer terletak pada rezim-rezim dan organisasi-organisasi internasional yang sangat banyak yang dibentuk untuk, pada prinsipnya, mengatur keseluruhan bidang kegiatan transnasional (perdagangan, kelautan, ruang angkasa, dan sebagainya) dan masalah-masalah kebijakan kolektif. Perkembangan rezim-rezim dan organisasi-organisasi internasional telah membawa perubahan-perubahan penting dalam struktur pengambilan keputusan politik dunia. Bentuk-bentuk baru politik multilateral dan multinasional telah terbentuk dan bersamaan dengan itu terbentuk pula pola khusus pembuatan keputusan kolektif yang melibatkan pemerintahan nasional, International Government Organization (IGO), dan berbagai kelompok penekan transnasional serta International Non-Govermental Organization (INGO).

Ketiga, kekuasaan hegemoni dan struktur keamanan internasional. Tumbuhnya kekuatan hegemonik, munculnya aktor militer dan perkembangan negara-negara global, yang dicirikan oleh kekuasaan-kekuasaan besar dan blok-blok kekuasaan, kadang-kadang mengurangi otoritas dan integritas negara. Penempatan negara individu dalam hierarki kekuasaan global menentukan tekanan dan jenis-jenis pertahanan dan kebijakan luar negeri yang bisa dicari oleh pemerintah, khususnya pemerintah yang dipilih secara demokratis.

Keempat, identitas nasional dan globalisasi budaya. Konsolidasi kedaulatan negara pada abad ke-18 dan ke-19 membantu perkembangan identitas rakyat sebagai subyek politik -sebagai warga negara. Ini berarti bahwa orang-orang yang tunduk kepada otoritas sebuah negara secara perlahan menjadi sadar akan hak keanggotaan mereka dalam suatu masyarakat dan sadar akan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bisa diberikan keanggotaan semacam itu.

Kelima, ekonomi dunia. Dalam konteks ini, terdapat keterputusan yang jelas antara otoritas formal negara dan jangkauan sistem produksi, distribusi, dan pertukaran kontemporer yang sering berfungsi membatasi wewenang dan keefektifan otoritas politik nasional. Kemajuan teknologi dalam teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi tengah menghilangkan batas-batas di antara pasar yang terpisah.

Kesiapan negara-negara berkembang dalam menghadapi fenomena keterputusan sebagai konsekuensi perubahan pola kekuasaan diatas, dapat menjadi alasan mengapa globalisasi membawa kisah keberhasilan juga kegagalan demokrasi di berbagai negara berkembang.

DAFTAR PUSTAKA

Giddens, Anthony. 1999. Jalan Ketiga: Pembaharuan Demokrasi Sosial. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Huntington, Samuel P. 1991. Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century. Oklahoma: University of Oklahoma Press

Winarno, Budi. 2009. Globalisasi dan Masa Depan Demokrasi. Dalam Media Jurnal Global dan Strategis, Vol. 3, No. 2 – 2009-08-02

*) Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana FISIPOL Universitas Gadjah Mada, Jurusan Politik & Pemerintahan.

Anthony Giddens, Jalan Ketiga: Pembaharuan Demokrasi Sosial, terjemahanKetut Arya (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999), hal. 33-35

Ibid, hal. 83-85

Samuel P. Huntington, Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century. (Norman Oklahoma: University of Oklahoma Press, 1991), hal.13

Huntington (1991) membagi gelombang demokratisasi menjadi tiga, yaitu:

·Gelombang panjang demokratisasi pertama (1828-1926) yang berakar pada Revolusi Prancis dan Revolusi Amerika.

·(Gelombang balik pertama (1922-1942) yang berakar dari tumbuhnya negara-negara fasis di Italia dan Jerman, yang kemudian menyebarkan kudeta militer di Portugal (1926), Brasil dan Argentina (1930), otoritarianisme di Uruguay (1933), kudeta dan perang saudara yang mematikan negara republik di Spanyol (1936))

·Gelombang demokratisasi kedua (1943-1962) yang berakar pada pendudukan oleh tentara Sekutu pada masa Perang Dunia II dan sesudahnya (termasuk yang sebelumnya otoriter)

·(Gelombang balik kedua (1958-1975) yang ditandai dengan naiknya rezim otoritarian di Amerika Latin (Peru, Uruguay, Cile, Bolivia, Ekuador, Brasil, dan Argentina), Asia (Pakistan -Zia, Korea -Rhee, Indonesia -Soekarno, Filipina -Marcos, India –Gandhi, Taiwan -KMT), Eropa (Yunani, Turki), dan Arika (hampir seluruh Afrika, khususnya Nigeria –tahun 1966 dikudeta oleh militer, kecuali Botswana)

·Gelombang demokratisasi ketiga (1974 - kini) yang dimulai dengan meninggalnya Jendral Fanco di Spanyol yang mengakhiri rejim otoriter/militer di Eropa Tengah pada tahun 1975, ketika Raja Juan Carlos dengan bantuan PM Adolfo Suarez memperoleh persetujuan parlemen dan rakyat untuk menyusun konstitusi baru yang demokratis, dan di Portugal selelompok perwira militer muda melakukan kudeta kepada Marcello Caetano, sang dikatur jatuh. Selama setahun Portugal mengalami transisi yang penuh drama, namun akhirnya kelompok pro demokrasi menjadi pemenang. Di Turki, militer mengundurkan diri dari politik (1983), di Filipina Marcos jatuh oleh “people power” (1986), di Korea oposisi memenangkan pemilu (1987), Hongaria berubah menjadi multipartai (1988), di Polandia Partai Solidaritas pimpinan Walesa berhasil merubah Polandia menjadi negara non-komunis, sementara itu Uni Sovit lahir parlemen nasional yang non-komunis (1990), intervensi AS mengakhiri rejim marxis-leninis di Grenada (1983) dan diktator Noriega di Panama (1989).

Lihat Budi Winarno, Globalisasi dan Masa Depan Demokrasi, dalam Media Jurnal Global dan Strategis, Vol. 3, No. 2 Oktober 2009, hal. 124

Ibid, hal. 130-131

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun