[caption id="attachment_241153" align="aligncenter" width="432" caption="Guru Umar bersama masyarakat menanam pohon di samping sekolah"][/caption] Menjadi warga negara Indonesia yang berada di daerah Kepulauan memang tidak semudah menjadi warga yang ada di daerah perkotaan. Dengan keterbatasan informasi dan letak geografis daerah yang terpencil serta jauh dari keramaian, mereka harus berjuang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk dalam memperoleh hak pendidikan sebagai warga negara.
Guru Umar Hosnol adalah satu dari sekian orang yang berada di daerah kepulauan, tepatnya di pulau Kangean, Kecamatan Kangayan, Kabupaten Sumenep, Madura. Di pulau Kangean itulah Guru Umar mengabdikan dirinya untuk pendidikan masyarakat sekitar. Berbekal pengetahuan yang ia peroleh dari pendidikan Pondok Pesantren (PP) Al-Hidayah Arjasah, sebuah Pesantren pertama yang ada di Pulau Kangean, Guru Umar mengagagas pendidikan gratis untuk masyarakat sejak tahun 1986, yang sampai sekarang masih eksis dan bertahan dengan jumlah peserta didik lebih dari 500 siswa. Lembaga pendidikan ini bernama Pesantren Anwarul Hidayah, yang beralamat di Jln. Bindara Hosnol Gambu-Gambu, Timur Jang-Jang Kecamatan Kangayan, Kabupaten Sumenep.
Dalam sejarahnya, Guru Umar Hosnol menggagas lembaga pendidikan di Kepulauan Kangean ini tidak lepas dari kiprah Almarhum Bapaknya, yaitu Bindara Hosnol Khuluq (1930-1992). Bindara Hosnol merupakan tokoh masyarakat yang ketika masih hidup ia memberikan pendidikan keagamaan bagi masyarakat sekitar. Pada saat itu mayoritas masyarakat buta huruf dan tidak mengerti dengan utuh ajaran agama Islam, sekalipun masyarakat sudah memeluk agama Islam. Lambat laun, Bindara Hosnol memperoleh kepercayaan dari masyarakat dan masyarakat gotong royong membuatkan bangunan yang ditempati untuk shalat dan menyampaikan ajaran-ajaran agama Islam termasuk belajar membaca Al-Qur’an. Bangunan itu oleh masyarakat disebut langgar dan sampai sekarang masih ada.
Sebelum Bindara Hosnol meninggal, ia sudah berpesan kepada Guru Umar Hosnol untuk melanjutkan perjuangannya mengabdi untuk pendidikan masyarakat. Dari situlah Guru Umar mulai bercita-cita untuk mendirikan lembaga pendidikan umum bagi masyarakat, dengan cara tidak membebani pembiayaan bagi masyarakat, alias gratis. Sebagai bentuk penghormatan masyarakat, maka dibuatlah nama Bindara Hosnol sebagai nama jalan setempat.
Perjuangan Guru Umar untuk memberikan pemahaman akan pentingnya pendidikan tidak semudah membalikkan telapak tangan, sebab saat itu kondisi perekonomian masyarakat masih memprihatinkan. “Jangankan untuk menyekolahkan anaknya, untuk makan saja susah,” ujar guru Umar.
Selain itu, masyarakat yang suka judi juga masih banyak, sehingga menjadi salah satu problem akan keterpurukan ekonomi masyarakat. Akhirnya, Guru Umar mengurungkan niatnya untuk mendirikan lembaga pendidikan formal dan terlebih dahulu memutar otak bagaimana caranya meningkatkan taraf perekonomian masyarakat. Maka setelah musyawarah dengan masyarakat, Guru Umar mendirikan sebuah forum perkumpulan, yang diberi nama Tarbiyatus Shalat.
“Saya tidak langsung membangun lembaga pendidikan, karena saya sadar permasalahan masyarakat Kangean kompleks, mulai dari masyarakat yang suka judi, keterperukan ekonomi, sampai pada masalah pemahaman agama yang masih minim, sehingga saya dengan bermasyarakat berinesatif untuk membangun forum perkumpulan terlebih dahulu,” kenang Guru Umar.
Forum perkumpulan itu kemudian berfungsi ganda. Pertama untuk media silaturrahim yang diisi dengan menyampaikan hal-hal yang bersifat ukhrawi, kedua forum ini juga dimanfaatkan untuk perbaikan ekonomi masyarakat dengan cara diselingi arisan. Kesepakatan hasil arisan perkumpulan tersebut wajib untuk dibelikan genting rumah. Secara bergiliran, masyarakat sudah mengganti rumahnya dengan genting, yang awalnya masih menggunakan jerami padi. Setelah selesai dari awal, akhirnya kesepakatan hasil arisan diubah, bahwa hasil dari arisan diwajibkan untuk dibelikan sapi. Akhirnya, semua masyarakat sekitar memiliki sapi.
Setelah dirasa oleh Guru Umar kehidupan dan pendapatan ekonomi masyarakat mulai stabil, akhirnya Guru Umar menyalakan kembali keinginannya untuk mendirikan lembaga pendidikan formal, dan semua masyarakat sekitar terlibat langsung atas pembangunan lembaga pendidikan itu dengan prinsip gotong royong. Sebagaimana kesaksian Guru Umar, bahwa pembiayaan lembaga pendidikan itu murni dari uang pribadi dan tidak meminta sumbangan dana dari pihak mana pun, termasuk pemerintah daerah dan masyarakat sekitar. Tepat Tahun 1986, berdirilah lembaga pendidikan Madrasah Ibtidaiyah (MI).
[caption id="attachment_241161" align="aligncenter" width="389" caption="Siswa tidak hanya diajarkan materi pelajaran sekolah, tapi juga diajarkan untuk merawat dan mencintai alam dengan gerakan menanam pohon"]
Dengan kondisi gedung yang seadanya, kegiatan belajar-mengajar untuk siswa MI dilaksanakan. Saat itu, tenaga pengajar masih sangat minim di pulau Kangean, sehingga Guru Umar mengajar sendiri kegiatan belajar di kelas.
“Dulu masih sulit mencari guru, karena kesadaran pendidikan di Kangean masih lemah, sehingga dengan sabar saya mengajar sendiri,” ungkap Guru Umar dengan seksama.
Awalnya, Guru Umar sempat ragu lembaga pendidikan ini tidak diminati oleh masyarakat, tapi dengan keyakinan dan kegigihannya Guru Umar mampu melawan keraguan itu dengan memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Masyarakat Kepulauan pun merespon lembaga pendidikan ini dengan sangat bahagia, laiknya orang yang terperangkap di gua puluhan tahun kemudian menemukan jalan keluar dan menikmati indahnya matahari. Masyarakat berbondong-bondong menyekolahkan anaknya ke sekolah yang Guru Umar dirikan. Begitulah kebahagiaan masyarakat saat itu.
Tapi ternyata, setelah 5 kali lulusan, tidak satu pun siswa yang lulus dari MI itu melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Saat itu, lembaga pendidikan SMP hanya ada di Kota Sumenep, Madura. Banyak masyarakat yang membiarkan anaknya setelah lulus MI bekerja ke luar kota atau ke daerah lain di laur pulau Madura, dengan alasan tidak ada biaya untuk transportasi dan kebutuhan lain jika harus menyekolahkan anaknya di luar pulau Kangean, maklum jarak dari Kota Sumenep ke pulau Kangean sekitar 88 mil dan harus menyeberangi laut. Akhirnya, Guru Umar berinesiatif untuk mendirikan Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI) gratis. Selang beberapa tahun, Guru Umar akhirnya juga mendirikan Sekolah Menengah Atas Islam (SMAI) gratis.
Semua bangunan gedung sekolah ini terletak di sebuah bukit yang lumayah jauh dari perumahan masyarakat dengan kondisi jalan yang berbatu, tapi karena melihat antusiasme siswa yang tinggi dan Guru Umar merasa kasihan, akhirnya Yayasan Anwarul Hidayah memberikan fasilitas siswa alat transportasi mobil Pick Up sebagai fasilitas antar-jemput siswa, yang setiap hari rata-rata menghabiskan bahan bakar 30 liter.
[caption id="attachment_241164" align="aligncenter" width="491" caption="Masyarakat bergotong royong membantu pembangunan sekolah"]
Berawal dari keterbatasan, mulai dari bangunan sekolah, fasilitas sekolah, guru tenaga pengajar, akhirnya Guru Umar berhasil membangun dan membesarkan lembaga pendidikan dengan sempurna. Meski harus diakui, perjuangan dan pengorbanan Guru Umar untuk membesarkan lembaga pendidikan Pesantren di daerah Kepulauan Kangean ini sangat berat, sebab berdasarkan penuturan Guru Umar, tidak sedikit upaya orang untuk menjatuhkan beliau, baik secara person, maupun upaya yang dilakukan oleh pemerintah setempat untuk menutup sumbangan donatur ke lembaga pendidikan yang Guru Umar asuh. Alhamdulillah, dengan keikhlasan dan ketabahan beliau, tantangan demi tantangan mampu Guru Umar hadapi dengan melibatkan masyarakat sekitar dalam membangun, membina, dan membesarkan lembaga pendidikan yang berbasis Islam ini.
[caption id="attachment_241166" align="aligncenter" width="491" caption="Pembangunan gedung Perpustakaan Sekolah yang sampai sekarang belum selesai"]
Gerakan perjuangan yang dilakukan oleh Guru Umar di daerah Kepulauan Kangean yang sangat pelosok, terpencil dan jauh dari hiruk-pikuk kota, merupakan perjuangan yang patut kita tiru. Dengan komitmen yang tinggi, dari tahun 1986 sampai sekarang, beliau bersama masyarakat sekitar berjuang. Beliau tidak pernah mengeluh, apalagi berpangku tangan menunggu inesiatif pemerintah setempat, meski pendidikan adalah kewajiban pemerintah untuk menjamin hak pendidikan warga negara, sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 UUD 1945. Berbekal ilmu yang ia dapat dari Pesantren, beliau bergerak menjadi pelopor pendidikan gratis di Kepulauan. Tak heran jika masyaratkat setempat memanggil beliau, sang GURU.
Selamat Hari Pendidikan Nasional (2 Mei 2013). Semoga akses dan pemerataan pendidikan tidak hanya terjadi di Kota, tapi di Kepulauan terpencil pun dapat tercipta.
(@Romelmasykuri)
Biografi Guru Umar Hosnol
NamaLengkap: Umar Hosnol, S. Pdi
Tetala: Sumenep, 01 Juli 1966
Pendidikan Terakhir: S1 Sekolah Tinggi Ilmu Keislaman, Al-Hidayah Kangean
Jabatan: Ketua Yayasan PP. Anwarul Hidayah
Jejak Rekam Gambar
[caption id="attachment_241162" align="aligncenter" width="491" caption="Riang gembira, siswa berebut masuk ke mobil pengangngkut sekolah"]
[caption id="attachment_241163" align="aligncenter" width="430" caption="Dengan semangat 45, siswa masuk ke mobil pengangkut sekolah di pagi hari"]
[caption id="attachment_241165" align="aligncenter" width="430" caption="Pembangunan masjid yang sampai sekarang belum selesai"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H