Minggu lalu saya baru saja memoderatori kegiatan diskusi internal Mata Garuda LPDP 4.0 dengan tema "Urgensi RUU PKS". Kegiatan ini diisi oleh Faiqoh, seorang Konsultan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Mirisa Hasfaria, World Resource Institut (WRI) Indonesia, sebagai pemantik diskusi. Boleh saya bilang, keduanya merupakan aktivis dalam memperjuangkan RUU PKS. Selain itu, kegiatan diskusi ini juga dihadiri oleh kawan-kawan Pengurus Mata Garuda LPDP 4.0 itu sendiri.
Diskusi diawali dengan pemaparan Faiqoh yang memaparkan mengenai konsep kekerasan seksual serta kondisi kekerasan seksual di Indonesia. Menurutnya, kita perlu tahu mengenai RUU PKS ini, mengapa? Jika kita tahu maka kita akan memahami, lalu kita akan tertarik, lalu kita mulai membicarakannya kepada orang lain, sehingga kita bisa membantu orang-orang yang mengalami kekerasan seksual. Hal terpenting setelah kita tahu adalah menciptakan ruang aman bagi korban kekerasan seksual. Ruang aman yang dimaksud adalah bagaimana kita bisa membantu korban kekerasan seksual dengan memberinya bantuan secara konseling atau bahkan bantuan hukum.
Namun permasalahannya adalah, mayoritas korban kekerasan seksual tidak mau bercerita. Mereka malu jika harus menceritakan mengenai pengalaman kekerasan seksualnya. Mengapa malu? Salah satu alasannya adalah khawatir menerima penyalahan dari orang lain seperti menyimpulkan tindakan kekerasan kekerasan seksual yang dialaminya adalah disebabkan oleh caranya berpakaian dll. Hal lainnya misalkan dalam kasus kekerasan dalam lingkup personal, malu bercerita karena pelakunya memiliki relasi secara pribadi seperti saudara, teman dll.
Konsep kekerasan seksual secara sederhana merupakan bentuk aktivitas seksual di luar keinginan kita yang menimbulkan rasa tidak nyaman dan dipaksa. Poin penting di sini adalah "rasa tidak nyaman dan dipaksa". Selain itu, kekerasan seksual timbul atas dasar ketidaksetujuan korban sehingga korban mau tidak mau menerima tindakan tersebut.
Atas dasar tersebut, konsen atau persetujuan adalah hal terpenting dalam konsep relasi kita dengan orang lain. Lebih lanjut, Faiqoh menganalogikan konsen dengan sebuah video menawarkan segelas teh sebagai berikut .
Persetujuan tidak hanya ada pada berhubungan seksual, namun juga memegang tubuh, memeluk, atau bahkan berjabat tangan.
Kemudian, perkembangan kasus kekerasan seksual dapat dilihat dalam Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan. Pada CATAHU 2020, kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP) pada tahun 2019 tercatat sebanyak 431.471 kasus, meningkat 792% selama 12 tahun terakhir. Data tersebut kemudian terbagi dalam 3 ranah yaitu KDRT/Ranah personal yang mencapai 75%, lalu kekerasan di ranah komunitas/publik sebesar 24%, lalu kekerasan di ranah negara dengan persentasi 0,1%.Â
Kasus kekerasan pada ranah personal, jenis kekerasan yang paling tinggi adalah kekerasan fisik (4.783 kasus), lalu diikuti oleh kekerasan seksual (2.807 kasus), kekerasan psikis (2.056 kasus) dan ekonomi (1.459 kasus). Kemudian kekerasan dalam ranah komunitas, tercatat kasus pencabulan merupakan kasus tertinggi (531 kasus), perkosaan (715 kasus) dan pelecehan seksual (520 kasus). Hal yang menarik adalah pelaku kekerasan seksual dalam ranah personal merupakan orang-orang yang memiliki kedekatan secara personal seperti pacar dan ayah kandung.
Lalu, siapa saja pelaku kekerasan seksual? Siapa pun bisa menjadi pelaku kekerasan seksual. Begitu pun dengan korban kekerasan seksual, korban kekerasan seksual pun tidak selalu perempuan, namun juga bisa laki-laki. Kemudian kapan dan di mana terjadi kekerasan seksual? Di mana pun dan kapan pun.