Mencermati beragam pemberitaan media akhir-akhir ini, kita disajikan informasi yang secara terus menerus menceritakan perihal kasus nazarudin dengan keterkaitan kasus-kasus lainnya bahkan person-person yang di duga terlibat didalamnya
Apa yang menarik dan menjadi seksi dari pemberitaan ini hingga menempati rating tertinggi jika melihat frekuensi dan intensitas pemberitaan ini dipublikasikan.
Sebagai seorang konsumen berita, yang kebetulan sedang melanjutkan studi Sosiologi di universitas Indonesia, saya tertarik untuk melihat dan mencermati bagaimana media memproduksi dan menerbitkan suatu berita serta dampaknya bagi khalayak sehingga ada persepsi yang berkembang di masyarakat, yang tentunya hal itu berhubungan dengan sikap pribadi atau pun sekelompok orang terhadap suatu pemberitaan.
Jika kita amati lebih teliti, maraknya pemberitaan yang dipublish oleh beragam media sudah hampir 1 tahun lebih, jika dibandingkan secara nominal dengan kasus-kasus lainnya dalam hal penyimpangan dana (korupsi), Kasus ini mungkin lebih kecil dari kasus bailout bank century yang diindikasikan bahwa negara mengalami kerugian yang lebih besar daripada kasus nazarudin, tetapi pemberitaannya tidak dari lebih 3-4 bulan.
Ada apa dengan kasus nazaruddin?
Kasus nazarudin, jika melihat bagaimana kasus ini muncul, sebenarnya diawali ketika adanya pengakuan dari Sekertaris Jenderal Mahkamah Konstitusi, kepada ketua mahkamah Konstitusi tentang adanya percobaan penyuapan yang dilakukan oleh Nazarudin, l ini kemudian direspon positif oleh mahfud MD selaku ketua MK, dengan melaporkan hal ini kepada SBY selaku Presiden, dari sana kemudian berkembang kasus itu sehingga menyebabkan terbukanya beberapa kasus lainnya terkait dengan Nazaruddin.
Kemudian tertangkapnya Mindo Rosalina serta orang-orang lain yang terlibat didalamnya seperti wafid muharram dll. Hal ini kemudian ditambah dengan bola panas yang dilemparkan oleh nazarudin selama dalam “pelarian”, diantara yang disebutkan oleh nazaruddin adalah Angie, Andi Malanggeng, Ibas, Anas Urbaningrum dan lain-lain. Nama terakhir seringkali disebutkan oleh nazaruddin yang kemudian publish oleh beragam media di Indonesia.
Sampai detik ini, pemberitaan itu tidak kunjung selesai, selalu ada pemberitaan tentang dugaan keterlibatan Anas Urbaningrum dalam beberapa kasus Nazarudin. Hingga hari ini public tidak mengetahui ihwal fakta yang sebenarnya, public hanya disuguhkan oleh pemberitaan media yang secara fakta diragukan validitasnya. Sehingga diperlukan suatu penelitian yang mendalam menjelaskan secara fakta, bahwa harus ada pembedaan antara opini atau persepsi masyarakat yang diperoleh melalui berita dengan fakta hukum yang sebenarnya. Karena ini akan menjelaskan sejauh apa kebenaran yang sesungguhnya, dalam sebuah term hukum sesuai dengan kasusnya sebagai sebuah forum legal yang dipercaya oleh masyarakat.
Dampak pemberitaan di masyarakat
Seperti yang dijelaskan oleh Habermas dalam public sphare-nya bahwa masyarakat juga memiliki ruangnya tersendiri dalam memberikan penilaiannya. Sehingga persepsi yang dimiliki oleh masyarakat, dalam hal ini yang dikonstruksi oleh media memiliki peranan dan pengaruh yang sangat besar didalamnya.
Melihat kasus ini dalam pemberitaan yang terus menerus tentu akan berimplikasi pada persepsi public, seperti yang dikatakan oleh Hitler "Argentum Ad Nausem" bahwa kebohongan yang berulang-ulang akan menjadi sebuah kebenaran. Ketika hal ini terjadi maka wacana ini berkembang yang terus-menerus menjadi sebuah kenyataan yang dipahami public, publik yang senyatanya mendapatkan informasi dari fakta yang sebenarnya, disajikan wacana-wacana yang dikonstruksi oleh media.
Dalam sisi lain, ketika kita melihat sosok Anas Urbaningrum sebagai seorang tokoh politik dan publik figure dengan karakter santun yang dikenalnya, yang hampir tidak memiliki kecacatan karier politik dalam rekam jejaknya harus menanggung “pengadilan opini” yang dikonstruksi media. Dalam istilah popular yang sering kita dengar adalah “character assassination”, saat ini seorang Anas Urbaningrum dalam persepsi masyarakat adalah seorang politikus yang memiliki keterkaitan kuat dengan kasus Nazaruddin. Cibiran, cemoohan bahkan makian terdengar dari masyarakat yang secara langsung tidak langsung menjadi konsumen bahkan penikmat media.
Dengan belum disajikan fakta hukum yang sebenarnya oleh lembaga formal yang menjadi legalitas lembaga di republic ini, saya kira hal ini masih bersifat dugaan, bahkan dalam redaksi lain ini adalah sebuah fitnah, menyitir dari salah satu ayat dalam Al Qur'an (2:191), bahwa fitnah lebih kejam dari pembunuhan, makna yang ambil dari ayat tersebut adalah bahwa fitnah memiliki sanksi social (social Punisment), yang dalam kenyataannya sulit untuk dihilangkan karena hal ini terekam dalam memory masyarakat. Sehingga penting dalam hal ini bahwa masyarakat diberikan suatu kebenaran dari fakta yang sesungguhnya.
Kesimpulan
Pertama, sebagai konsumen berita, selayaknya kita harus menela’ah lebih dalam mengenai content isi yang diberitakan disesuaikan dengan fakta yang sebenarnya. Untuk melihat itu, kita harus mengetahui bahwa kasus ini dalam kategori apa, jika ini adalah kasus hukum, maka kebenaran itu harus sesuai dengan fakta hukum yang sebenarnya.
Kedua, kita dimampukan untuk belajar menganalisa isi content berita, karena reportase berbeda dengan penelitian ilmiah, sehingga kita dapat mengetahui kebenaran berita yang berkembang.
Ketiga, bahwa penulisan berita seringkali melibatkan emosi, intervensi dari penulis dan lembaganya, ada istilah gatekeeping dalam proses memproduksi berita, dimana dalam hal ini, ada sebuah proses memilah dan memilih berita untuk dipublikasikan sehingga selalu ada celah dalam memuat sisi subjektif sesuai dengan kepentingannya, hal ini juga menjadi wajar, ketika Weber menjelaskan mengenai tindakan rasional, bahwa setiap individu memiliki sebuah kebebasan dalam melakukan sesuatu sesuai dengan sisi rasionalnya. (wallahu ‘alam)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H