Mohon tunggu...
Saepul Romdon
Saepul Romdon Mohon Tunggu... -

Penikmat Dji Sam Soe

Selanjutnya

Tutup

Politik

“Konstruksi Wacana Media Terhadap Anas Urbaningrum, II” (Tela’ah Kritis)

6 Juli 2012   02:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:15 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Media Antara Kebebasan Dan Kontruksi Wacana

Sejak reformasi 1998, media telah mengalami euphoria kebebasan setelah selama 32 tahun terkungkung dibawah tirani otoriter rezim orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto. Media pada akhirnya mampu memberikan informasi pada khalayak sesuai dengan konten informasi tersebut tanpa harus disensor apalagi dilarang, tidak ada lagi ketakutan akan dibredel jika memberikan informasi yang tidak sesuai dengan keinginan penguasa. Hal itu didukung oleh perundangan bidang pers yang muncul semasa pemerintahan Presiden B.J Habibie sejak pertengahan 1998. YaituUndang undang No. 21 tahun 1982 yang diperbaharui dengan Undang Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang memberikan jaminan kebebasan bagi pers untuk memberikan informasinya kepada khalayak.

Hingga hari ini media tetap berjalan menikmati kebebasan mereka dalam melakukan tugas mereka sebagai penyedia informasi bagi khalayak. Hal tersebut mendorong laju berkembangan dunia informasi sedemikian rupa sehingga tumbuh dengan pesat, hal ini dapat dilihat dari banyaknya penyedia informasi baik itu media cetak mau pun elektronik. Terkait dengan fungsinya sebagai pilar keempat demokrasi, media sering dianggap sebagai watch dog, yang memiliki peranan penting dalam perubahaan social dimasyarakat.

Pengertian media mengarah pada sesuatu yang mengantar/meneruskan informasi (pesan) antara sumber (pemberi pesan) dan penerima pesan. Media adalah segala bentuk dan saluran yang dapat digunakan dalam suatu proses penyajian informasi (Latuheru: 1988: 11). Pada proses produksinya, pemberitaan seringkali dipengaruhi oleh dua faktor, diantaranya adalah factor internal yang meliputi kebijakan redaksional, kepentingan pengelola media dan factor eksternal yang meliputi kepentingan pasar (pembaca) dan kepentingan-kepentingan elite yang menggunakan media sebagai salurannya.

Sebagai sebuah pemberitaan, tentunya informasi yang disuguhkan harus sesuai dengan fakta yang terjadi, karena berita adalah cerminan realitas (mirror of reality). Akan tetapi, ada kalanya berita disampaikan didalamnya, tidak sesuai dengan realitas yang terjadinya, sehingga berita yang di konsumsi masyarakat menjadi keliru dan menggiring pemahaman masyarakat pada opini-opini yang tidak sesuai dengan fakta yang sesungguhnya atau tidak objektif. Sehingga menjadi penting kiranya untuk memisahkan antara yang opini dan yang fakta untuk menghindari pandangan emosional dalam melihat suatu peristiwa dan memperhatikan prinsip keseimbangan serta keadilan dengan melihat peristiwa dari dua sisi, dalam hal ini adalah pada saat proses produksi berita tersebut (Birowo, 2004).

Akan tetapi ada kalanya produksi berita dilakukan baik secara sadar tidak sadar dengan memilah dan memilih berita yang sesuai dengan keinginan atau kepentingan dari orang yang terlibat di dalam produksi berita, dalam istilah jurnalistik ini disebut dengan gatekeeping. Hal ini dilakukan dengan maksud agar dapat mempengaruhi atau meyakinkan pembaca berita tentang suatu isu atau realitas yang sedang terjadi, dan pada saat inilah konstruksi sosial itu dibentuk sedemikian rupa sesuai dengan apa yang menjadi kepentingannya. Dalam hal ini media, bukan hanya bisa berperan sebagai pemberi informasi, tetapi sebaliknya media juga memiliki kekuatan yang powerfull bisa melakukan hal-hal yang bersifat provokasi dan mempengaruhi opini dan tindakan public yang membacanya, karena pembaca berita merupakan konsumen yang menikmati hasil produksi media secara langsung.

Media yang juga tidak terlepas dari konstruksi sosial, dimana pesan atau informasi yang disampaikan sudah melewati proses produksi yang sudah di setting sedemikian rupa sehingga pesan atau informasi yang disampaikannya meninggalkan objektifitas dan mengangkat informasi yang tidak sesuai dengan faktanya atau manipulasi fakta yang sesuai dengan agenda kepentingannya. Sehingga selalu ada perbedaan dari informasi walau pun topik pemberitaannya sama. Hal ini tergantung dari kepentingan orang-orang yang terlibat pada proses produksinya.

Dengan demikian maka, sebuah media informasi dapat dikatakan sebagai agen konstruksi realitas yang ada dimasyarakat melalui pemberitaannya. Secara sederhana bahwa berita yang dikonsumsi oleh masyarakat tidak sekedar menjelaskan suatu informasi dari sebuah peristiwa yang sedang terjadi melainkan pendapat orang yang terlibat pada proses produksi berita itu sendiri, yang pada akhirnya akan mempengaruhi keyakinan para pembacanya dan memunculkan apa yang disebut dengan opini publik, William Albig mengatakan bahwa “Opinion is any expression on a controversial topic”. (Albig, 1939)

Konstruksi wacana yang dilakukan oleh orang-orang yang terlibat dalam proses produksi berita, dalam hal ini surat kabar terhadap sebuah hal atau peristiwa yang terjadi menyebabkan berita tersebut memiliki framenya sendiri (bingkai). Untuk mendapatkan penjelasan mengenai konstruksi tersebut, kita dapat melihat pada komparasi informasi dari beberapa pemberitaan dari berbagai surat kabar dengan sebuah topik yang sama.

Terkait dengan kasus korupsi di Indonesia ini bukan yang pertama kalinya, banyak sekali kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Bahkan korupsi di Indonesia sudah berlangsung pada masa kolonial belanda, dimana yang menjadi penyebab utama korupsi di masa itu adalah gaji yang sangat rendah. Secara definisi, Alatas mengatakan bahwa korupsi merupakan suatu tindakan penghianatan /pengingkaran amanah (Basyir, 2002). Akan tetapi, jika dikaji secara mendalam akan diketahui bahwa hampir semua definisi korupsi mengandung dua unsur berikut di dalamnya. Pertama, penyalahgunaan kekuasaan yang melampaui batas kewajaran hukum. Kedua, mengutamakan kepentingan pribadi atau klien di atas kepentingan public. ( Lubis dan Scoot, 1985 )

Antara Prespektif Media dan Fakta Hukum

Maraknya pemberitaan tentang berbagai kasus korupsi yang melibatkan tersangka M. Nazaruddin,yang mulai beredar setelah ditangkapnya Sekretaris Menteri Pemuda dan Olah Raga Wafid Muharam, tepatnya pada tanggal 21 April 2011, yang dalam keterangannya menyebutkan bahwa ada keterkaitan dengan salah satu anggota DPR dari kader Partai Demokrat, yaitu M. Nazaruddin. Sudah setahun lebih terlewati tetapi pemberitaan itu tidak pernah surut, bahkan ketika M. Nazaruddin pun sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh komisi pemberantasan korupsi ((KPK).

Kasus ini menjadi menarik ketika, pemberitaan yang disajikan memberikan prespektif yang berbeda dalam menuangkan informasinya. Bahwa M. Nazaruddin dalam keterangannya baik kepada KPK atau pun dalam informasi yang diberitakan oleh media menyebutkan adanya dugaan keterlibatan dari beberapa tokoh penting negeri ini, semisal Angelina Sondakh, Andi Malanggeng, ketua umum Partai Demokrat, yaitu Anas Urbaningrum dan lain sebagainya. Khususnya nama terakhir, yaitu Anas Urbaningrum merupakan nama yang sering disebut-sebut oleh Nazaruddin. Menariknya bahwa kasus ini, jika dilihat dari faktanya merupakan kasus hukum, akan tetapi seperti mengalami pergeseran makna ketika kasus ini kemudian sering kali diperbincangkan dalam sudut pandang politik, Sehingga persoalan mengenai kasus korupsi Nazaruddin, tidak hanya dilihat sebagai kasus yang bersifat hukum saja, akan tetapi memiliki muatan-muatan kepentingan politis di dalamnya.

Khususnya pemberitaan mengenai dugaan keterlibatan ketua umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, seakan-akan menjadi isu yang “seksi” dalam pemberitaan media-media, karena guliran isi dari pemberitaan, tidak hanya menyangkut satu kasus akan tetapi kasus-kasus lainnya, seakan-akan memiliki mata rantai dengan kasus-kasus lainnya, seperti adanya penggunaan money politics pada kongres II Partai Demokrat yang diselenggarakan di Bandung pada tahun 2010 yang lalu dan lain sebagainya.

Setahun sudah terlewati, pemberitaan itu masih saja hangat diterbitkankan oleh beberapa medi. Begitu peliknya kasus ini, hingga seperti ada kejemuan dalam kasus yang belum dapat diungkap secara komprehensif, sementara pemberitaan tidak kunjung surut, dan secara sadar- tidak sadar bahwa konstruksi social dari pemberitaan itu terbentuk, dampak dari hal itu adalah terbentuknya opini masyarakat. Dalam akun jejaring social Twitter, Anas Urbaningrum mengatakan. "Saya ingin tegaskan bahwa saya tidak tahu urusan, apalagi terlibat urusan tuduhan korupsi wisma atlit dan hambalang. Itu fitnah dan rekayasa." Di tambahkan pula bahwa Ia siap mati ditembak atau digantung di Monas bila terbukti terlibat. "Kalau saya korupsi wisma atlit dan hambalang, satu rupiah pun, saya bersedia ditembak mati atau digantung di Monas. Bgm dng yg bikin fitnah?". Suatu statement yang di luar dugaan, ketika seorang sosok yang biasa menampilkan diri sebagai orang yang kalem dan santun, tiba-tiba berkata seperti itu, mungkin ini adalah dampak sosio-psikologis dari sorotan media yang berdampak pada pembentukan opini di masyarakat.

Fakta yang sesungguhnya memang belum terungkap secara utuh karena karena kasus korupsi yang melibatkan M. Nazaruddin belum terungkap secara penuh, dalam sebuah konferensi pers mantan ketua Komisi Penanggulangan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas, mengatakan bahwa Nazaruddin diindikasikan terlibat 35 kasus dengan nilai proyeknya sekitar 6,037 Triliun rupiah, dan hingga hari ini baru satu kasus yang sudah disidangkan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TiPiKor), yaitu kasus Proyek tender wisma Atlet di Jakabaring Palembang, pada tanggal 20 Mei 2012. Dimana hasil pengadilan memutuskan bahwa Mantan M. Nazaruddin dinyatakan terbukti bersalah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi, dengan vonis hukuman penjara 4 tahun dan 10 bulan penjara serta denda Rp 200 juta, Vonis yang dijatuhkan majelis hakim lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntutnya tujuh tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider enam bulan tahanan.

Nazaruddin dinilai terbukti bersalah menerima suap Rp 4,6 miliar berupa lima lembar cek. Cek itu diserahkan Manajer Pemasaran PT Duta Graha Indah, perusahaan pemenang lelang proyek Wisma Atlet, Mohammad El Idris kepada dua pejabat bagian keuangan Grup Permai, Yulianis dan Oktarina Fury. Selanjutnya cek disimpan dalam brankas perusahaan. Nazar juga dinilai ikut andil membuat PT Duta menang lelang proyek senilai Rp 191 miliar tersebut. Caranya, dengan meminta anak buahnya, Direktur Marketing PT Anak Negeri Mindo Rosalina Manulang, bekerja sama dengan Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam dalam mengupayakan PT Duta Citra Laras sebagai kontraktor. (Wallahu 'Alam)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun