Ah masak sih, hari gini remaja nggak bisa baca?Â
Begitulah kenyataannya. Begini ceritanya ....
Cowok berperawakan ramping itu membukakan pintu rumah yang kuketuk sejak lima menit tadi aku menunggu.Â
Semula aku mengira sepertinya tak ada orang di rumah itu. Sepi. Nyaris tak ada suara. Maklum. Rumah itu memang terletak di ujung kampung di pinggir kebun. Di belakang rumah yang besar itu, serumpun bambu tumbuh rimbun menambah suasana sepi sore itu. "Nggak ada orang", bisikku pada putriku yang berdiri di samping menemaniku.
Perhatianku tertuju pada cowok di depanku. Tinggi badannya kira-kira 165 cm. Kaos berlengan pendek yang dikenakannya menambah kesan perawakannya yang tinggi semakin terlihat kerempeng. Aku terpaksa agak mendongakkan kepalaku ketika berbincang dengannya. Tinggi badanku semeter kotor, kata teman-temanku.
"Bapak ada?" tanyaku padanya.
"Ada". Begitu jawabnya dengan lafal yang tidak begitu jelas. Kata-katanya terlontar perlahan mempersilahkan aku duduk.
Sambil menuju kursi di sudut ruangan pandanganku tak lepas dari cowok tadi. Aku perhatikan ada yang mengalir di sudut bibirnya. Kemudian dia bergegas masuk ke ruangan tengah untuk menghampiri orangtuanya yang sedang berkumpul bersama. Tidak lama kemudian ibunya menuju ruang tamu menemuiku.Â
"Maaf  Bu, baru sempat ke sini. Agak nggak enak badan. Seharusnya awal bulan ke sini.
"Nggak apa-apa, Bu. Malah saya sampai lupa juga. Bulan ini jatuh tempo bayar premi, ya bu?
"Iya, nih Bu" Jawabku.