"Lumayan lama", desis anjing. "Semakin parah?"
"Begitulah". Hujan belum  menampakkan tanda-tanda usai. Malah sepertinya akan berlangsung lama. Guntur dan kilat membelah langit, menciptakan pekak hingga menggetarkan gendang telinga.
"Bagaimana kondisimu?". Celeng bertanya sambil menggoyang-goyangkan kepala.
"Berkat Semesta". Anjing menjilati tubuh. Percikan air bertempelan menumpuk gelung. Bulu-bulunya sudah menutupi luka.
"Hingga akhirnya, Semesta menjawab keresahan kami", lanjut celeng.
Hujan mengguyur berhari-hari dikawasan hutan barat daya-yang sekarang berubah jadi areal pertambangan. Daya tekan air hujan mengoyak areal tambang. Â Genangan-genangan kecil secara sporadis terbentuk, otomatis menghentikan kegiatan mereka. Orang-orang jadi blingsatan.
"Kalau begini terus, kita bisa tekor"
"Sudah dari kemarin, kenapa juga tidak berhenti". Mereka hanya bisa nongkrong, kongkow ngalur ngidul tanpa ujung.
"Nekat kenapa?", Saran seseorang diantara mereka.
"Apa otakmu gagal menyimpan peristiwa terdahulu? Rekan kita terkubur mati didalam lubang? Suasana persis kaya' begini". Diam menggelayut, semua diringkus pusaran pikir masing-masing. "Lebih baik tunggu sampai hujan reda. Kerja model kita ibarat judi. Kadang untung kadang rugi. Tetap gunakan pikiran waras".
Dhuar! Krek..krek...gleger.."
"Suara apa itu?". Mereka terkesiap. Hanya beberapa detik usai suara tersebut timbul, getaran sangat kuat meruyak. Badan limbung bak dipukul-pukul hingga terjerembab. Barang-barang  berjatuhan, bedeng-bedeng terseret, dilumat tanah.