Para celeng berembuk. Ribut mencengkeram, ada saling tentang diantara mereka. Tapi akhirnya...
"Ikut kami", ajak satu diantara mereka. Segera gelombang itu bergerak meninggalkan tempat. Mengular menginjak apa saja. Peri kebinatangan tersampir, menjadikan para celeng menggadaikan keselamatan, menanam bahaya yang mungkin saja datang. Menembusi sesemak, merangsak juntaian akar, meninggalkan jejak kasat.
Sebuah kubangan berisi air menghentikan laju. Semesta tak alpa memberi persembahan bagi para hamba sahaya. Vegetasi hutan selalu memberi kehidupan para pelintas. Tanpa perlu disuruh, juluran lidah anjing menggores bentang air. Berdecap-decap menjilat. Kuyu matanya sedikit terangkat. Energi mulai timbul seiring cairan bening masuk ketubuh.
"Bagaimana bisa manusia memperlakukan dirimu begitu kejam?". Anak-anak celeng asik bermain air hingga kekeruhan terbentuk.
"Mereka mempunyai banyak pendapat tentang keberadaan ras kami", ujar anjing. "Sekian banyak manusia, sekian ragam mereka ambil keuntungan". Jilatan-jilatan menciptakan riak-riak kecil. Anjing sungguh menikmati suguhannya.
"Tak jauh beda dengan takdir kami", potong para celeng, "Dimata manusia, kami malah tidak ada baiknya. Dianggap hama, pencuri tanaman, perusak tanah, bahkan sosok kami disangkakan sebagai ritual pesugihan"
Para celeng berkubang. Anak-anaknya bermain lumpur, memainkan congornya memporakporandakan kubangan. Kenakalan mereka membuat lumpur bercipratan kesegala arah.
"Sudah lama dihutan ini?"
"Baru tiga purnacandra"
"Tapi kalian sepertinya sudah ribuan purnama menghuni kawasan ini", ucap anjing
"Kami eksodus dari kawasan sebelah sana". Pandangan celeng diarahkan ke barat daya. "Hidup kami dirusak oleh manusia".