Bila pinggang tidak diserang rasa nyeri, mungkin saya tidak akan ngonthel(gowes) lagi. Sebulan yang lalu, tepatnya pertengahan Januari, pinggang sebelah kiri saya terasa senut-senut(nyeri). Kalau mau berdiri harus pelan-pelan. Mengendap selama tiga hari kemudian pindah ke pinggang sebelah kanan. Apaan sih?! Apakah otot tertarik? Serabutan ruwet? Memang, saya tipe manusia yang bukan sering olahraga, dalam bentuk lari, renang, sepakbola atau jenis lainnya.
Kalau jalan kaki iya. Mungkin karena asupan olahraganya kurang yang menyebabkan pinggang nyeri? Dulu bahkan pernah lebih parah. Ketika akan lepaskan badan dari kasur tidak bisa. Mirip robocop-kaku. Tulang belakang dirajam sakit minta ampun. Dengan memposisikan badan miring baru berhasil naik, itupun dengan susah payah.
Saya diam kan beberapa hari, tapi tidak hilang juga. Mencoba menirukan gerakan senam kesegaran jasmani(SKJ) belum menyembuhkan. Jelas menganggu keseharian. Iseng-iseng mencoba naik sepeda blusukan ke jalan-jalan kampung, ada perubahan sedikit. Nyeri berkurang. Tapi malamnya masih menyengat. Esuknya lagi diulangi. Berkurang lagi. Saya ambil kesimpulan, kalau begitu, perbanyak gowes agar nyeri pinggang hilang. Akhirnya aktivitas lama berulang kembali(ALBK).
Agar ngonthel lebih terarah, akhirnya dibuat jadwal. Setiap Sabtu pagi setelah sholat Subuh gowes keluar kota Solo, susuri kabupaten tetangga. Hari Sabtu saya ambil dengan pertimbangan, diantaranya banyak penggowes bermunculan pada hari itu. Iya, Soloraya sudah sekitar satu dasawarsa belakangan ini tumbuh kelompok-kelompok baru sepedaan atau individu (diatas itu memang sudah ada seperti komunitas PAIJO). Kerap mendapati mereka dengan segala alirannya, misal, aliran sepeda kebo(pit kebo), klan MTB, marga sepeda lipat, ada juga campuran diantara itu.
Bila diawal hanya jarak dekat-sekitar sepuluh kilometer PP(pergi pulang), selanjutnya langsung saya genjot 40-an KM Pergi Pulang. Arahnya adalah Pengging. Pengging merupakan wilayah dikabupaten Boyolali. Ditempat itu ada petilasan berupa pemandian yang dibangun oleh raja kraton Surakarta, Pakubuwono X serta beberapa umbul(mata air) dengan berbagai nama serta sebuah masjid(Cipto Mulyo) pun makam Raden Ngabehi Yosodipuro.
Banyak penggowes memilih Pengging, dikarenakan jaraknya tidak terlalu jauh juga tempat istirahat serta kulinernya beragam. Jadi, para penggowes dari berbagai penjuru mata angin, timur khususnya, diuntungkan dengan tempat itu.
Saya juga ikut jejak mereka. Tapi sedikit pengecualian. Jalur yang saya lalui sebisa mungkin tidak lewat jalan besar. Saya menelusuri rute pedesaan dipandu suara hati . Hari-hari selanjutnya wilayah lain saya satroni hingga sebuah niat gowes ke Klaten tersirat.
Sabtu pagi, dengan style bebas merdeka, saya memulai aksi gowes. Sebuah destinasi sejarah akan saya datangi. Makam pujangga besar kraton Surakarta Hadiningrat, Raden Ngabehi Ronggowarsito didaerah Palar kecamatan Trucuk kabupaten Klaten. Apakah kalian tahu secara detail tentang sosok Ronggowarsito? Beliau merupakan cucu Yosodipuro II, pujangga utama Kasunanan Surakarta. Bagoes Burham nama kecilnya.
Pesona Raden Ngabehi Ronggowarsito bahkan sanggup memaksa Gus Dur menziarahi makamnya. Apa istimewanya? Mari kita cari. Oleh karena itu berbekal tekad serta membentengi otot pinggang supaya jauh dari serangan nyeri, terkayuhlah pedal sepeda MTB standar dengan beberapa karat mendesir ke selatan.
Tanpa prasangka, hanya kegembiraan hati, melajulah saya dengan kepercayaan tinggi. Hari yang cerah sanggup mendikte suasana hati agar dinikmati. Kayuhan demi kayuhan menaburkan kekuatan melihat selubung alam pedesaan, suasana padukuhan.
Dengan ngonthel, saya bisa melihat secara dekat kesibukan dipersawahan, petani-petani menggerakkan traktornya membajak sawah, teriakan "Hok! EE!....Hok! EE!" untuk mengusir kawanan burung pencuri bulir padi menyalak panjang, penggembala bebek dengan kotak bambu besarnya siap melepaskan peliharaan ke bentangan sawah.