Usai mengunjungi sendang Tirto Sinongko, saya menyasar candi Sojiwan. Dipelataran parkir khusus buat bus dan mobil, motor aku standar dua. Aku belum beranjak untuk segera memasuki obyek ini. Panas yang begitu menyengat menahan tubuh supaya lepaskan penat sambil tiduran diatas motor. Siang ini begitu panas.Â
Tidak tahu kenapa, bulan November dan Desember tahun ini masih merasakan panas yang begitu sadis. Hujan belum begitu sengit menghajar bumi. Padahal biasanya-kalau menurut pranoto mongso yang jadi anutan mbah-mbahe dewe-ini sudah musim hujan. Desember itu diotak atik bisa berarti gede-gedene sumber(besar-besarnya sumber). "Sumber" disini maksudnya limpahan dari langit.
Akhirnya ramai.Mengisi perut langkah lanjutan sebelum masuk ke area candi. Karena saya merasakan ada yang tidak beres dengan badan. Perut keroncongan bisa membuat badan berkeringat kepala pusing. Itu alarm agar segera diisi.Â
Ada warung bakso dan mie ayam persis didepan. Sambil memasukkan potongan daging dimulut, pandangan mata sesekali menangkap tingkah polah pengunjung.
"Menawi rame biasanne dinten nopo, bu?"(kalau ramai biasanya hari apa, bu), tanyaku pada pemilik warung.
"Sabtu kalian Minggu, nak", jawab si ibu, "Jing enjing soyo rame, amargi teng mriki wonten CFD-Car Freeday"(besuk pagi semakin ramai, karena disini ada CFD-hari bebas berkendara)
"Biasane tutup jam pinten?"Â yang aku tanyakan operasional candi Sojiwan.
"Jam setengah gangsal sampun tutup"(jam setengah lima sudah tutup)
"Mboten jam gangsal?"(tidak jam lima)
"Mboten, nak"(tidak, nak)
Dipanggil "nak" membuat saya kaget. Saya sudah lama sekali tidak mendengar kata "nak" dari bibir seorang perempuan. Sebab, panggilan "nak" itu biasanya bentuk keramahan serta rasa sayang paling hakiki.
"Mbenjing mlebet candi sampun mbayar"(besuk masuk candi sudah membayar), ujar si Ibu, "lha niku pengumumane nembe wau dipasang"(itu pengumumannya baru saja dipasang). Yang dimaksud si ibu, mulai tanggal 1 Januari 2020. "Cobi mangke dipun persani"(coba nanti dilihat)