Tahun ini ia menancapkan kakinya berkalung usia. Masih menanak serimbun harapan. Beberapa diantaranya telah masak terkabul.
Disudut waktu dipinggir sore menjelang beduk Maghrib bersama sebuah buku ia kembara lembarannya. Khasanah terpampang memanjakan mata serta hati. Pikirannya menukik mengupas, mengurai teks-teks hasil kerja si pengarang.
Udara sore memberi ramuan sehat baginya untuk membantu memahami isi bacaan. Halaman per halaman berganti sisi hingga senarai kalimat menghantam tabir tebal benaknya,"Sudahkah kado doa terangkai ikhlas buat Ibu Bapakmu"
Kalimat tersebut memaksanya tergagap, ia berhenti sejenak. Ia tak pernah alpa mendoakan mereka berdua. Hanya momentum sore ini memaksa ingatannya berkelindan menerobos belantara tahun-tahun lampau. "Sosok ibunya" muncul kepermukaan menyeret cerita.
Perempuan sembilan anak itu kerap ditunggu anak-anaknya. Ujung jalan kampung dengan belokan tajam menjadi perhatian mereka bila rembang senja menjelang. Perempuan berkain jarit dipadupadan kebaya tempo doeloe zaman perang kemerdekaan merupakan sosok tetap pelintas jalan itu.Â
Bila ia terbit anak-anaknya-yang kala itu masih kecil-berlarian bersegera mendekapnya. Tasnya selalu jadi rebutan untuk dibawakan. Riuh akan meninggi. Pertanyaan dan jawaban bergandengan tangan.
"Semua sudah mandi?"
"Ibu bawa kue?"
"Kenapa pertanyaan ibu belum dijawab?"
Mereka asyik mengobrak-abrik isinya. Ternyata seplastik besar kue kering teronggok didalam. "Sudah mandi semuanya, Buuu.."
Senyum mengapung dibibir perempuan itu. Tangannya digandeng kencang hingga halaman rumah. Upacara pembagian kue akan dilaksanakan setelah sholat maghrib.