Persaingan dalam mencari pekerjaan menjadi hal yang tidak dapat dihindarkan dalam perkembangan jaman. Jumlah lulusan sarjana memiliki rasio yang lebih kecil dari lapangan pekerjaan yang disiapkan Negara.
Harapan orang tua untuk menyekolahkan ankanya setinggi mungkin merupakan gambaran luhur yang sangat patut ditiru. Hal ini pun menyebabkan menjamurnya universitas-universitas yang menyediakan jasa pendidikan dengan mutu yang terbaik pada jaman modern ini.
Persaingan begitu ketat ini teryata menyebabkan lulusan sarjana terutama wanita lebih memilih untuk menjadi karyawati yang mempunyai pekerjaan dan penghasilan yang tetap. Tetapi dampaknya, tidak banyak sarjana wanita yang mau terjun untuk mengembangkan penelitian baru dengan ide-ide segar, sehingga banyak dari para sarjana wanita tersebut tidak tertarik untuk memilih profesi yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan kembali. Seperti yang dikatakan oleh Prof. Herawati Sudoyo MD, Ph.D yang dilansir oleh detik.com, indonesia hanya mempunyai ilmuwan perempuan sekitar 26.000 dari total populasi Indonesia saat ini.
Tidak bergairahnya seorang sarjana wanita yang hidup di jaman modern untuk menjadi seorang pemikir maupun ilmuwan sangat lah wajar, apalagi jika dilihat dari sistem patriarki (garis keturunan laki-laki) yang sangat kental di Negara ini. Â Akibat hal tersebut, banyak dari sarjana perempuan yang sebenarnya mempunyai bakat besar seperti seorang Kartini muda terdahulu, lebih memilih untuk mengikuti arus tuntutan jaman yang terus berkembang ini.
Namun apakah menjadi karyawati menutup kesempatan seorang perempuan untuk terus berkembangan dengan ide-ide barunya?
Ya, mungkin bisa dikatakan seperti itu. Jika dilihat dari waktu yang dihabiskan seorang karyawati dari pergi bekerja sampai pulang kerumah kembali, mereka cenderung sudah tidak mempunyai waktu tentang hal lainnya, selain kewajibannya kepada suami dan Anak. Waktu mereka habis, karena lebih banyak menunaikan tugas sebagai istri pada umumnya, agar tidak di cap pemberontak oleh keluarga dan tetangga disamping rumahnya.
Dilain sisi, dominasi Kartini modern yang berprofesi sebagai karyawati juga terus diteror oleh tindakan pelecahan seksual yang terjadi di tempat kerja. Pelecehan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, dari verbal maupun kontak fisik yang dilakukan karyawan lainnya. Hal ini menyebabkan seorang karyawati menjadi sangat rentan di tempat kerja, terlebih belum banyak perusahaan yang serius memberikan sanksi pada pelecehan seksual yang dialami karyawatinya, sehingga mereka lebih memikirkan cara tersendiri untuk memproteksi diri.
Pelecehan ditempat kerja bukan menjadi hal yang biasa, karena perbuatan ini akan menggangu psikis seseorang karyawati dan menurunkan minat bekerja. Dilematisasi, sulitnya mencari lapangan pekerjaan baru yang lebih menjanjikan situasi kerja yang kondusif dan saling menghargai, merupakan kecemasan yang lebih besar bagi mereka, jika berpikir pergi karena pelecehan yang dialami.
Namun permasalahan ini bukan menjadi pagar besi bagi setiap Kartini modern untuk memberikan kembali ide-ide perubahan dalam setiap bidang yang mereka miliki,. Mereka tetap mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam berkontribusi melalui jalan pemikirannya, sehingga Indonesia dapat terus melahirkan Kartini – Kartini Modern yang kompeten dalam ide dan pergerakannya kedepan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H