Sebelum Saya melangkah menuju gelanggang pemilu 17 April 2019. Saya meminta petunjuk ke beberapa orang tua, langkah seperti apa yang harus dijalani karena sumberdaya yang dimiliki sangatlah minim, bahkan kurang.
Ada 2 petunjuk yang diberikan; 1. Jalan tirakat, 2. Apa adanya.Â
Setelah itu Saya langsung bergerak. Setiapkali mau memulai jalan tirakat Saya terlebih dulu menemui Ibu, kemudian ke makam Bapak, dilanjutkan ke makam "Datu".
Di perjalanan tirakat itu bantuan bahan kampanye mulai turun. Ada kalender, baliho, banner, dan kartu nama. Kalender sebanyak 7.000 lembar mulai dibagi door to door ditemani oleh 2 teman. Baliho pasang sendiri, banner dibantu beberapa orang untuk memasang. Kartu nama disimpan dulu.
Setelah kalender terbagi, baliho dan banner terpasang, angin mulai berhembus kencang. Kartu nama semakin tersimpan. Saya mulai lupa dengan petunjuk yg sudah diberikan. Jalan tirakat dan apa adanya.
Angin kencang mulai berubah menjadi badai. Saya goyang dan terlempar dari jalur yang sudah ditentukan. Saya merubah strategi. Kartu nama yang sedianya dibagikan sebagaimana ketika membagi kalender Saya rubah dengan mencetak brosur dan membentuk tim untuk membaginya. Biaya keluar? Tentu saja Saya harus menambah biaya yang sebenarnya tidak perlu.
Saya kehilangan momentum jalan tirakat dan apa adanya di 13 hari menjelang masa tenang.Â
Badai semakin kencang. Dan saya hrs menyerah di belantara politik pemilu. Politik perjuangan yang diusung menjadi buyar karena Saya tidak belajar teliti dan sabar ditengah badai mata uang.
Semua sudah usai dan selesai. Penyesalan? Tidak. Semua adalah pelajaran berharga tentang ketelitian dan kesabaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H