Mohon tunggu...
Dewi Intansari
Dewi Intansari Mohon Tunggu... Mahasiswi -

Manusia penimbun mimpi

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Air Hujan Juga Punya Takdir

3 Mei 2016   10:48 Diperbarui: 3 Mei 2016   17:19 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hujan melengkapi senja dan rinduku kemarin sore. Yang masih menyisakan lamat-lamatnya di pagi hari. rindu akan sahabat jiwa yang masih mengelana, di belahan bumi yang entah bagian mana.

Kekasih, adakah kau tahu? Bahwa setiap tetes air hujan memiliki takdir. Dari air laut yang perlahan menguap terbuai panas mentari. Tiap titik yang melayang tak kasat mata. Barangkali ada yang gembira terangkat ke atas sana. Atau ada yang tetap bergeming di permukaan laut menanti takdirnya. Titik-titik itu kemudian bersatu menjadi buah-buah awan. Melingkupi atmosfer dan menutupi sebagian penjuru langit.

Saat kilat petir melenggang anggun setegas parang, awanpun mengerti itu tanda saatnya mereka harus jatuh. Meninggalkan tahta langit. Kemudian berjuntai, berderai, merangkai rintikan hujan. Menembusi gunung, membasuhi bukit, menyapu kaki gunung dan kaki bukit, mengecupi permukaan air danau, menyibak polusi di perkotaan, dan menanam kehidupan di tengah hutan.

Kekasih, adakah kau tahu? Mereka semua berawal dari titik yang sama namun menyusuri jalan yang berbeda. Ada yang beruntung dan langsung kembali ke bumi. Ada yang harus menempel ke dahan-dahan tinggi untuk kemudian menggelincir ke dahan yang lebih rendah. Bergelayutan pada daun-daun lalu mengantuk batu untuk kemudian setia megecupi tanah. Menyatu dengannya, hidup disana sembari lari perlahan-lahan menuju aliran yang akan membawanya pulang ke laut.

Ada yang akhirnya terjebak di sumur penduduk. Menjadi pengobat dahaga. Ada yang mengaliri sawah, membuat padi tumbuh tinggi lalu terpanen. Ada yang menjadi kubangan di pojok selokan. Bergumul dengan kaki tikus dan tak jarang harus berkenalan dengan air seni anjing jalanan. Dan ada pula yang terjebak dan kembali mengepul menjadi uap di cangkir kopi ku sepagi ini. Mereka terus berlari perlahan namun pasti untuk kembali ke ibu. Kembali ke lautan, menjadi bagian dari samudra. Ikut andil dalam gelombang ombak, dan berseluncur membelai pantai. merenungi takdir yang membawanya ke seluruh penjuru bumi untuk kembali ke tempat yang sama. Laut.

Kuharap aku dapat menitipkan rindu pada takdir sang bulir hujan. Kekasih yang belum kuingat namamu. Aku selalu menunggu saat kau kembali untukku. Kembali untuk menjadi bagian dari diriku. Menunggu saat kau kembali dari petualanganmu. Berhenti berkelana dan mengingat akulah rumah bagimu. Akulah tempat kau kembali saat dunia menyakitimu. Akulah tempat yang pernah kau singgahi, dan pasti akan kau datangi lagi. akulah tempat dimana kau berawal, dan aku jugalah tempat dimana kau akan mengakhiri.

Menunggu aliranmu untuk kembali kepelukan lautmu....

(Catatan di pagi hari yang paling malas. 3/5/16 D.Int.S)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun