Mohon tunggu...
Dewi Intansari
Dewi Intansari Mohon Tunggu... Mahasiswi -

Manusia penimbun mimpi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Satu Romansa Bersama Merbabu

6 November 2015   13:19 Diperbarui: 6 November 2015   13:46 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Miliaran detik telah terlampaui oleh sebatang tulang punggung yang terus bertumbuh dari waktu ke waktu. Dalam angan histori melayang dan menari-nari bak selendang sutera yang tertiup angin kemarau yang kering dan membuatnya terasa lebih mencolok ditengah kerapuhan alam yang kepanasan. Histori itu melayang melampaui bukit dan pegunungan yang terbakar kemarau tahun ini yang asapnya mengepul-ngepul bak kapas yang hidup dan mampu membumbung menyatu dengan awan. Ingatanku mengepul bersamanya pula, membawa ku kembali kepada masa 11 oktober 2014.

Sore itu adalah sore yang cerah di musim penghujan di tahun itu. Matahari menerpa ransel dan sebagian punggungku. Awan bergumul dengan indah bagaikan lukisan putih diatas kanvas berwarna biru muda. Langkah-langkah kecil kami mulai memaku di jalan setapak gunung merbabu. Itu adalah pendakian pertama ku. Bersama dengan Reissa, Yonna, dan Mas Frans. Langkah pertama kami dari basecamp menuju pos pertama diselimuti dengan cahaya sore yang tersisa dari siang yang amat panas. Ilalang mengiringi langkah kami dengan doa yang kami bawa dari kaki gunung, yang akan kami kantongi bersama-sama hingga akhirnya dapat ku temui puncak yang selama ini aku rindukan. Kali itu banyak sekali pendaki yang berpapasan ataupun berbarengan dengan kami.

Saling susul menyusul di setiap pos yang kami capai. Langit baru saja merubah warnanya menjadi keunguan, dan baru ku dapati satu bintang menyembul dari langit senja. Ku tilik dan ku tilik lagi ia dari balik ranting pohon yang akarnya ku duduki dengan nyamannya. Setitik air hangat menyeberangi pipiku oleh rasa haru. Kami melangkah kembali bersama cahaya senter gunung yang menari nari dengan lihai jauh didepan kami. Maghrib baru saja berkumandang di segala penjuru tempat, dan megiringi doa yang setiap detik kami panjatkan dari dalam hati kami.

Kami meniti langkah didalam gelap, sumber cahaya terdekat hanyalah senter gunung. Di dalam gelap jalan setapak seperti tak habis habis. Dan satu persatu bersamaan dengan langkah-langkah kami, titik-titik cahaya di langit gelap pun mulai bertimbulan. Serentak seperti penduduk langit baru saja menyalakan lampu tidurnya, dan cahaya itu menyebar bagaikan kunang-kunang yang tersangkut di tirai kelambu. Lampu jalan dan berbagai cahaya yang berada dibawah sana seperti menyatu dengan bintang-bintang. Kami semua seperti terjebak dalam ruang waktu yang membawa kami ke luar galaksi. Sungguh temaram, sunyi, damai dan indah. Dan kaki kami terus menyongsong perjalanan dengan sesekali istirahat di tempat-tempat yang lapang. Entah apapun yang berkecamuk dalam batin dan pikiran kami waktu itu, yang aku tau kami menyatu hanya dalam satu tujuan.

Waktu kami tiba di pos tiga gunung merbabu jalur cuntel, bulan terpancang tepat sejajar dengan ubun-ubun kami. Bulat, membiaskan cahaya dengan sempurna, dan amat cantik. Disanalah tulang ku terasa mulai membeku, tak ku ucapkan sepatah katapun hanya gigi ku yang gemletuk karena menggigil. Tak ku inginkan aku mati beku disana, kami melanjutkan perjalanan lagi. Sesekali terjatuh dan rasa sakitnya terobati oleh ribuan cahaya yang mengelilingi kami dari jarak yang amatlah jauh. Di pos pemancar, kami membangun tenda dan tidur dengan membawa segala kelelahan yang kami punya. Berselimutkan hawa dingin yang menjadi selimut paling hangat bagi kami malam itu. Dan jiwa yang mulai berkelana ribuan kilo meter di alam mimpi, membawa kami menyongsong malam dengan mata terpejam separuh. Hingga fajar datang mengusik hawa dingin dengan kehangatan yang ia tawarkan. Matahari menyembul dari balik cakrawala, memberi romansa hari baru kepada lembah yang membeku semalaman. Tetap saja embun berterbangan memenuhi sebagian partikel udara.

Tubuh-tubuh muda yang mulai keluar dengan terbungkus jaket dan kepala yang diselubungi skibo. Menikmati secuil romansa masing-masing dengan satu moment terbitnya matahari pagi yang hangat dan jingga. Aku hanya diam dan bergumam dengan coklat hangat yang aku sesap bersamaan dengan udara pagi yang bersih. Menikmati hingga sekawanan manusia mulai melangkahkan kaki menuju puncak tertinggi merbabu, PUNCAK KENTHENG SONGO. Aku, Reissa, Yonna, dan Mas Frans pun mulai mempersiapkan diri. Bergelut dengan debu bekas kehangusan sebilah hutan merbabu, diterpa cuaca panas yang terkadang bisa menyatu dengan udara dingin. Langkah kecil kami menyusun pola-pola jejak yang tak beraturan di tanah, melewati bebatuan yang harus dipanjat. Dan bau belerang yang lebih bau dari kentut pemakan telur rebus. Mau tak mau kami pun sampai di puncak dengan wajah penuh dengan cemongan debu, tapi kepuasan tertumpah disana.

Segala lelah yang kami bawa sepanjang malam terbayar sudah dengan susunan tanah, batu, rumah, pepohonan, langit, awan, matahari dan udara menjadi satu kesatuan yang utuh dan harmonis. Galaksi yang jauh tak kasat mata menjadi penonton segelintir makhluk kecil menyadari betapa indah bumi ini beserta partikel dan kesatuannya. Ini bahkan takkan sebanding dengan lukisan monalisa yang melegenda itu. Karya Tuhan yang keindahannya dicipta dengan amat rinci, spesifik dan mencengangkan. Semua berjejer dan berbaris tak beraturan namun padat, tak terlupa awan yang mulai menggumul di bawah kaki kami. Setitik air mata pun tak nampak dari balik kelopak mata kami semua, namun satu hal yang dapat kurasa adalah getaran yang disampaikan sang angin melalui pori-poriku.

Langkah kami mulai bergerak lagi. Kali ini bukan naik namun turun. Ya, kami turun setelah awan menghalangi pemandangan yang baru seper sekian detik yang lalu memukau ku dan membuat aku terpaku. Aku jatuh cinta pada sosok gagah yang setiap pagi membuat mata ku mengintip dari balik pelupuk mata. Mengepulkan embun dari mulut dan berdecak kagum akan keindahannya. Sungguh masa yang akan terus ku ulang bagaikan kaset yang berulang kali berputar-putar dalam dvd room di otak ku. Dan akan selalu aku ingat setiap inchi langkah kaki ku yang membawaku ke tempat terindah itu.

“Meredith, selamat ya..kamu berhasil menakhlukan Merbabu kali ini” bisik sang langit yang seadari tadi ku pandangi dengan senyuman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun