PP 20/2017 juga memberikan 4 (empat) cara penyelesaian atas barang yang ditangguhkan antara lain melalui prosedur impor atau ekspor, diserahkan kepada penyidik untuk dilakukan tindakan hukum, diserahterimakan kepada juru sita pengadilan untuk kepentingan pengajuan gugatan, dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Tindakan hukum yang dimaksud oleh PP 20/2017 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.04/2018 dilakukan menurut ketentuan pidana. Dalam praktiknya, tindakan hukum itu antara lain namun tidak terbatas pada penyitaan maupun permusnahan barang.
Pemusnahan ini menjadi penting guna menjamin barang-barang palsu itu tidak beredar di masyarakat melalui jalur perdagangan sekaligus memberi efek jera (deterrent effect) bagi pelaku selain sanksi pidana dan ganti kerugian secara perdata. Apalagi jika mengingat barang-barang pelanggaran HKI berpotensi menimbulkan kerugian bagi konsumen bahkan gangguan kesehatan, lingkungan hidup, hingga keselamatan jiwa seseorang. Hal ini telah lama menjadi concern dari negara-negara maju yang diharapkan dapat terimplementasi secara konsisten dan konsekuen di Indonesia.
Pengungkapan kasus-kasus besar (significant case) dari pemalsuan ini juga dapat berawal dari tindakan penegahan dan penangguhan yang dilakukan otoritas Bea Cukai di wilayah pabean. Oleh karenanya, pemilik HKI tidak ada ruginya melakukan rekordasi (perekaman) HKI terutama misalnya bagi merek-merek terkenal baik dalam maupun luar negeri yang aktif dalam lalu lintas impor atau ekspor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H