Mohon tunggu...
Romana Dwi F
Romana Dwi F Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Anak IPA berjiwa IPS yang nyemplung ke sastra. Proletarian tak tahu diri. Dulunya cah ndeso, sekarang wong ndeso. Berharap menjadi wisudawan terbaik di Universitas Kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Surat dari Adikmu yang Krisis Moral

27 Februari 2015   14:07 Diperbarui: 11 Agustus 2015   13:18 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hai, Kakak...

Kak, Kakak bilang, "Heh, kamu ini bocah kok udah nakal, cabe!". Ah, kenapa kakak menyalahkanku? Apa kakak lupa kalau aku masih polos?

"Ya salah lah! Kecil-kecil kelakuan dewasa!". Kak, salah siapa orang dewasa melupakanku? Aku ini punya dunia sendiri, dunia anak-anak, tapi kenapa mereka mendewasakan semua? Kak, kalau saja lagu anak-anak bertebaran, tentu aku tak akan selihai ini menyanyikan lagu tentang cinta yang tak kupahami benar maksudnya. Aku tak akan seriang ini mengucap sakitnya tuh di sini. Atau bergoyang yang tak bermanfaat bagi perkembanganku. Aku masih salah?

"Dewasa sebelum waktunya!". Aku pun tak mengerti apa itu dewasa, Kak. Aku hanya melihat kemudian meniru, karena begitulah anak-anak. Tahapan meniru ini salah lagi? Kakak, di televisi berapa persen tayangan untukku? Hanya secuil, Kak, secuil! Di prime time aku dicekoki acara tak mendidik dan drama percintaan tak jelas. Aku hanya melihat dan meniru, salah?

"Seharusnya kamu itu asing sama kata cinta, bebi hani, sayank, atau apalah!". Haduh, bagaimana bisa asing, sementara hampir setiap saat aku mendengar dan membacanya. Kalau saja kakak-kakak penghuni jejaring sosial bisa membedakan mana ruang publik mana ruang privasi, tentu kami tak akan terpengaruh. Kak, ingat, aku pun punya sosial media. Kalau di timeline ku penuh dengan tema cinta, pacaran, patah hati, keluhan jomblo, dan asmara, bagaimana bisa aku tidak mengikuti? Kayaknya keren tuh, Kak.

"Keren apaan? Mikir lah!" Kak, jika aku berpikir dulu sebelum bertindak, tentu anak-anak tidak perlu dididik lagi, tentu tidak akan ada peristiwa anak menangisi permen yang jatuh. Kak, aku cenderung meniru apa yang kulihat. Di lingkungan, sudah biasa aku melihat kakak-kakak berpakaian mini, pacaran, bermesraan, dan bersenang-senang. Salahkah aku yang menjalani tahapan meniruku?

"Kamu terjerumus!" Aku tidak terjerumus, tapi aku dijerumuskan oleh kalian yang menganggap dunia hanya milik orang dewasa. Mereka mengganggu proses edukasiku dengan keegoisannya.

Kak, tolong bantu aku. Tidakkah kakak berpikir bahwa jiwa anak-anak Indonesia yang sebenarnya sedang disekap? Dan yang berkeliaran di sekitar kakak saat ini adalah anak-anak yang dihipnotis?

Kak, aku mohon bantu aku kembali, bantu aku tumbuh sesuai usiaku.

Kak, tolong bantu aku menjadi anak-anak penerus bangsa yang baik. Kak, bukankah semua bayi terlahir suci?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun