Mohon tunggu...
Romana Dwi F
Romana Dwi F Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Anak IPA berjiwa IPS yang nyemplung ke sastra. Proletarian tak tahu diri. Dulunya cah ndeso, sekarang wong ndeso. Berharap menjadi wisudawan terbaik di Universitas Kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bela Negara, Gara-gara Negara

15 Oktober 2015   10:15 Diperbarui: 15 Oktober 2015   10:15 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemerintahan Jokowi-JK melalui Kementerian Pertahanan akan meluncurkan Program Bela Negara (PBN) yang rencananya akan disampaikan langsung oleh Bapak Presiden Joko Widodo pada Senin, 19 Oktober 2015 mendatang. Pihak mayoritas yang kontra dengan kebijakan ini dijewer sama Pak Menhan Ryamizard dengan petuah tajam, "Yang tidak ikut wajib bela negara, silakan angkat kaki dari RI!" ーLalu bagaimana nasib rumah kos kami, Pak?

Pakdhe Ryamizard bilang bahwa program ini wajib dilakukan oleh warga negara yang berusia di bawah 50 tahun, yang di atas 50 tahun porsinya beda. Mbuh maksude piye, yang pasti program ini wajib musti harus kudu fardhu 'ain bagi seluruh warga negara! Dari rektor sampai dosen, dari guru sampai tukang becak, sayangnya mereka ndak menyebutkan "dari presiden sampai pejabat" dalam hal ini, ah mungkin lupa.

Kebijakan ini bertujuan untuk menumbuhkembangkan nasionalisme dan rela berkorban, sehingga sejak TK pun akan dimasuki unsur bela negara dalam kurikulumnya. Duh, Nduk, entah bagaimana nasibmu nanti. Kau yang seharusnya sibuk dengan imajinasi akan didoktrin oleh fasisme, eh, nasionalisme yang tak begitu kau pahami. Jangan sampai kau bertanya, "Mainan macam itu, Mbak?". Nggg...nganu...

Selain itu, PBN juga bertujuan mendisiplinkan, terutama anak-anak muda. Tentunya anak-anak muda begajulan yang kerjaannya nyinyirin Bapak Joko Widodo itu. Kata Pak Mayjen TNI (Purn) Supiadin Aries Saputra, "Presiden kok dijadikan bulan-bulanan, tidak dihormati. Kalau di Amerika presiden dipanggil dengan Mister Presiden, di sini dipanggil nama. Ini bukti bahwa nasionalisme tidak ada." Latar belakangnya sangat rasional sekali bukan?

Program ini menargetkan 100 juta kader dalam kurun waktu 10 tahun mendatang. Jadi, setiap warga negara yang mengikuti program itu nantinya selama satu bulan akan digembleng pelatihan fisik dan psikis di markas tentara. Jangan khawatir, sudah ada standarisasi pelatihannya. Masalahnya, standar di mata tentara itu bisa jadi masuk kategori ekstrem di mata warga sipil macam kita ni. Jangankan berdiri di bawah terik matahari, kejatuhan sehelai daun gugur saja aku pingsan, Pak.

Saya sih tidak setuju dengan kebijakan ini, apalagi ada embel-embel WAJIB-nyaーkalau opsional ya okelah terserah sakbahagiamu. Saya melihat bahwa PBN ini tak lebih dari wujud kegagalan negara dalam berbagai hal. Hal-hal yang dijadikan latar belakang dan dasar program ini terkesan sangat dipaksakan. Pemahaman tentang arti nasionalisme kembali dipersempit hanya dalam ranah fisik-fisikkan. Sungguh, Jokowi telah menutup satu tahun pemerintahannya dengan tidak anggun. Ini absurd, Pak.

Jika salah satu tujuan PBN adalah untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air, rasa memiliki negara, rela berkorban atau apalah itu, apa iya PBN efektif? Tidak usah mengelak, PBN pasti tidak jauh-jauh dari pelatihan militer. Hal ini menunjukkan bahwa nasionalisme masih dipahami secara sempit. Nasionalisme seolah dibatasi hanya pada ranah fisik. Mari duduk sejenak, lalu kita merenungkan lagi catatan Romo Mangun tentang nasionalisme :

"Apakah kecenderungan pasca-Indonesia ini akan merupakan apa yang disebut erosi patriotisme? Dalam hal ini semoga kita tidak lupa bahwa patriotisme yang dicita-citakan para pendiri Republik Indonesia kita bukanlah patriotisme gaya Hitler, Mussolini, atau Jepang sebelum Perang Dunia II, melainkan patriotisme yang luas dan berperikemanusiaan yang adil dan beradab...”

(YB Mangunwijaya, "Pasca-Indonesia, Pasca-Einstein")

 

Pembangunan nasionalisme yang bersifat keras dan kolot bahkan dapat berujung pada fasisme maka akan memunculkan sikap yang tidak toleran akan perubahan. Selain itu gaya nasionalisme seperti inilah yang menjadikan awetnya budaya paternalistik dalam kehidupan kita. Patriotisme kita bukan juga patriotisme pribumi zaman kerajaan feodal yang setiap saat menjual rakyatnya sendiri demi kemapanan mereka belaka 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun