AKSI serangan teror sudah terjadi di Jalan MH Tamrin, Jakarta Pusat, Kamis pagi (14/01), sekitar pukul 10.45. Hingga saya menulis, 17.04, korban sudah 24 orang. Tujuh di antaranya meninggal dunia, dan 17 orang harus dilarikan ke Rumah Sakit Polri dan RSPAD Gatot Soebroto.
Indonesia berduka. Sepatutnya kita turut berduka cita yang mendalam, atas tragedi ini. Masyarakat sipil yang tidak bersalah justru menjadi korban. Tidak lupa, pihak keamanan yang sudah bersusah payah, rela mengorbankan nyawa demi kedamaian hidup kita. Salut atas jiwa patriotis mereka yang tidak bisa dibayar dengan uang sekalipun.
Namun, di tengah aksi teror mencekam yang harus dibayar dengan nyawa, luka, trauma dan kedamaian hidup kita ini, justru sebagian orang justru menunjukkan sisi kemanusiaannya yang tercabik. Atas nama kemajuan teknologi, secepat kilat menyambar, foto dan video korban berkeliaran.
Ketika saya membuka laman dunia maya; facebook, twitter, dan beberapa blog, tergambar jelas tiga orang korban jatuh bersimbah darah. Seorang berbaju polantas, tanpa celana, (maaf) tersisa celana dalam, sedang meringis kesakitan dengan kaki berlumuran darah. Juga beberapa foto lain, melukiskan korban dipapah, berjalan pincang, dan darahnya menetes ke aspal. Ada pun beberapa video berdurasi pendek, tidak lebih dari satu menit, mempertontonkan aksi saling tembak-menembak dan peledakan bom bunuh diri, serta nyawa merenggang mudah ditemukan di facebook tanpa diblur.
Ngeri. Sekali lagi, ngeri. Menyedihkan. Kita berduka, bukan akan korban yang jatuh. Sejatinya, kita berduka atas sisi kemanusiaan kita yang dicabik. Alih-alih, kita mengucapkan turut berduka cita sembari mengutuk pelaku, tapi kita di waktu yang sama menampilkan ketakperikemanusiaan kita secara buta, untuk tidak mengatakan kita sedang menjadi ‘binatang’ yang sesungguhnya.
Pasalnya, dengan menyebarkan foto-foto korban berlumuran darah, peledakan bom dan nyawa yang terbujur di aspal MH Tamrin, kita sedang tidak merasa prihatin dengan korban. Bahkan kita tidak turut bersedih dengan anak, istri dan keluarga korban. Kita memang senang berita tersiar cepat dengan foto-foto demi akurasi berita, tapi kita lupa keluarga korban sedang bersedih, mereka menangis, mereka takut, dan mereka semakin dibalut trauma.
Kita coba mengandai-andai, perasaan apa dari lubuk nurani kita jika foto-foto korban yang tersungkur di aspal dan korban yang berlumuran darah itu adalah adik, kakak dan ayah kita? Syukurlah kali ini giliran mereka, bagaimana kalau giliran keluarga anda? Sudah tahu, kita bersedih dengan jatuh korban. Di lain pihak lain, kita pun mesti menjaga perasaan sesama yang lain menjadi korban. Cukup dengan tidak menyebarkan foto-foto yang tidak layak dikonsumsi publik.
Akhirnya, saya amat yakin, kita adalah manusia. Kita masih punya rasa solidaritas sebagai bangsa yang beradab. Etika mesti dijunjung tinggi, termasuk dalam bersosial media. Hanya dengan demikian, kita tidak dicap sebagai bangsa barbar; senang melihat sesamanya luka dan berlumuran darah.
Ende, Flores NTT 14/1;17:58
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H