Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Seorang anak kampung, lahir dan bertumbuh di Rajawawo, Ende. Pernah dididik di SMP-SMA St Yoh Berchmans, Mataloko (NTT). Belajar filsafat di Driyarkara tapi diwisuda sebagai sarjana ekonomi di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Terakhir, Magister Akuntansi pada Pascasarjana Universitas Widyatama Bandung. Menulis untuk sekerdar mengumpulkan kisah yang tercecer. Blog lain: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Stop Nodai Kerukunan Antar-umat Beragama di Flores

9 Oktober 2014   18:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:43 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1412830628547127938

[caption id="attachment_365099" align="aligncenter" width="560" caption="Gambar Ilustrasi"][/caption]

Sumber Gambar : di sini

IDUL Adha sebenarnya ‘kembali melakukan pengorbanan’. Dalam konteks waktu pelaksanaannya, yaitu pada hari pelemparan Jumrah Aqabah dilakukan oleh jama'ah haji, juga menunjukan bahwa salah satu bentuk pengorbanan yang paling mendesak adalah pengrobanan dalam melakukan perlawanan tanpa akhir dengan musuh – musuh kita. Sehingga perayaan idul adha juga berarti suatu kesadaran sejati untuk melakukan perlawanan terhadap musuh – musuh manusia dalam kehidupan ini.

Musuh – musuh dalam kehidupan manusia adalah bukan sesama kita, bukan sesama saudara sebangsa. Musuh itu juga bukan tetangga dan kerabat terdekat yang berbeda agama dan keyakinan. Ketika memaknai ‘musuh – musuh kehidupan’ itu dalam Islamologi dulu di bangku kuliah, saya merekam jelas pesan itu, musuh utama adalah keserakahan, egoisme dan kesombongan dalam diri. Musuh yang dimaksud adalah diri kita sendiri. Makanya dengan perayaan Idul Adha kita semua, tanpa membedakan agama manapun mesti berkorban untuk mengusir musuh – musuh dari dalam diri sendiri.

Sangat jauh berbeda dengan pesan di atas, tidak jarang sesamaku yang beragama tertentu memaknainya secara belum tepat. Sehingga dalam aplikasi kehidupan bersama di antara sesama anak bangsa, kesombongan dan egoisme muncul. Kekerasan terjadi. Penganiayaan dan pemukulan yang mengatasnamakan agama tak terhindarkan. Lebih tragis lagi, hal ini terjadi tepat di hari Idul Adha. Tepatnya tanggal 4 Oktober (malam) dan 5 Oktober (malam).

Hiruk – pikuk politik saling rebut jatah di senayan seolah mampu mengelabui peristiwa kekerasan yang mengatasnamakan agama tertentu di pojok utara Pulau Flores. Tepatnya di Kelurahan Mata Air, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, NTT. Tanpa ada sebab, terjadi pelemparan rumah warga, (yang beragama lain), oleh sekelompok massa yang tidak dikenal. Dilaporkan koran lokal Flores, tiga orang harus dirawat akibat luka akibat benda tajam, belasan rumah warga rusak. Kuat dugaan, dilakukan oleh kelompok pemuda agama tertentu dan dihasut oleh seorang aparat keamanan.

Ini menyedihkan. Saya seorang Katolik, lahir dan besar di Flores, NTT. Hampir jarang terjadi pertikaian yang mengatasnamakan agama. Saya tahu baik, baik sesama saudara yang Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha dan lain – lain, semua hidup rukun dan saling bergandengan tangan dalam setiap sendi pembangunan. Terutama, antara Katolik dan Islam di Flores, hubungan berjalan baik sebab berasal dari latar belakang historis yang sama, hubungan kawin mawin dan keluarga. Selain itu, kekeluargaan erat itu dibangun dengan hukum saling membutuhkan. Dulu, kami yang Katolik yang umumnya tinggal di gunung pergi ke pantai, menukar ikan dari sesama yang Islam dengan beras, ubi dan kelapa. Sebab umunya yang Katolik petani dan yang Islam nelayan. Meski hingga kini sistem barter berangsur kurang akibat kemajuan zaman, namun kekerabatan itu sudah kuat dirajut sejak dulu.

Nah, mengapa kasus Reo harus terjadi? Sejujurnya, saya mesti mempersalahkan provokator. Masuknya pendatang di Flores tidak jarang menjadi biang perpecahan. Mereka tidak paham sejarah dan kekerabatan yang diwariskan turun temurun. Andai orang Flores yang mayoritas agama tertentu geram dan melakukan aksi balas dendam, bisa jadi menjadi bencana nasional. Pertumpahan darah hebat akan terjadi. Tak sedikitpun terprovokasi, orang Flores yang mayoritas agama tertentu masih sabar dan rendah hati, tetap mengutamakan cinta kasih di atas segalanya. Kekerasan hanya bisa diselesaikan dengan hati dingin. Walau benar proses hukum dikedepankan dengan hati damai. Sikap ini yang mesti dimaknai oleh sekelompok orang yang melakukan kekerasan atas nama agama manapun.

Tulisan ini meski membuat beberapa kelompok tersinggung, namun mesti saya uraikan sebab andai dibiarkan kekerasan demi kekerasan menjadi sajian setiap hari kita. Jangan sebarkan benih kebencian berbau SARA di Flores. Jangan menodai kerukunan antarumat beragama. Mari kita memaknai ulang makna Idul Adha, berkorban menghapus egoisme diri, kelompok dan agama kita. Tidak ada agama tertentu yang paling baik dan benar di dunia ini selain kebaikan dan kebenaran itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun