Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara adalah nama pena. Tinggal di Kepi, Desa Rapowawo, Kec. Nangapanda, Ende Flores NTT. Mengenyam pendidikan dasar di SDK Kekandere 2 (1995). SMP-SMA di Seminari St. Yoh. Berchmans, Mataloko, Ngada (2001). Pernah menghidu aroma filsafat di STF Driyarkara Jakarta (2005). Lalu meneguk ilmu ekonomi di Universitas Krisnadwipayana-Jakarta (2010), mengecap pendidikan profesi guru pada Universitas Kristen Indonesia (2011). Meraih Magister Akuntansi pada Universitas Widyatama-Bandung (2023). Pernah meraih Juara II Lomba National Blog Competition oleh Kemendikristek RI 2020. Kanal pribadi: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Propinsi Flores: Lahir dengan ‘Sakit’

29 November 2015   08:41 Diperbarui: 29 November 2015   08:55 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

---sebuah obrolan ringan---

PERJUANGAN pembentukan Propinsi Flores sejak jauh sebelum NTT terbentuk, kini sudah mendekati garis akhir. Pemerintah bersama DPRD NTT telah mendukung penuh perjuangan tersebut. Anggaran sebesar Rp 1 M sudah disepakati guna menyukseskan sosialisasi pembentukan propinsi Flores di tiga titik penting di Flores.

Benar kata pepatah, semakin tinggi sebuah pohon semakin kencang angin menerpa. Demikian pula dengan perjuangan propinsi Flores, semakin keras saja ‘kontra’ pembentukan propinsi Flores, baik yang dilontarkan secara langsung maupun tidak langsung. Paling banyak, suara – suara menentang itu datang orang - orang Flores sendiri. Bukan orang lain. Bisa jadi mereka tidak sedang tinggal di Flores. Dengan catatan, tidak semua orang Flores diaspora menentang perjuangan ini. Ada yang sangat mendukung.

Nah, sore tadi di sebuah warung mie di pondok sebelum masuk kota Nangaroro dari arah Bajawa, sambil memecahkan telur rebus untuk dimakan, saya mendengarkan petuah seorang bapak tua. Ia sangat setuju dengan pembentukan propinsi Flores yang sedang gencar diperjuangkan. Saya senyum – senyum beberapa kali, menganggukkan kepala tanda setuju. Baginya, yang tidak setuju itu hanya ‘orang kita’ yang merasa terganggu dengan kemapanannya.

Kok, bapak tahu? Spontan saya heran dan kaget. Pikir saya, ini bapak dari mana tahu ya? Dia pakai facebook? Dia terpelajar? Dosen? Tapi penampilannya seperti orang biasa. Jauh dari kesan, ‘sangat paham’ soal pembentukan propinsi Flores. Maaf, pak. Sekiranya di pondok warung mie ini saya belajar rendah hati, tidak terlalu dini menilai orang yang ‘bukan – bukan’.

Iya, adik. Hanya ketakutan saja alasannya. Sebenarnya mereka mau katakan, mereka merasa nyaman dengan kondisi yang ada. Mapan. Anti perubahan. Cenderung statis. Tidak dinamis. Kaum – kaum ini biasa menentang atas nama cemas dan galau. Jangan sampai perubahan akan membuat terhempas bahkan terbuang. Dan alasan takut muncul ‘raja – raja’ kecil di Flores adalah bukti, kaum – kaum ini adalah produk masa lalu. Ingat adik, mereka produk masa lalu.

Adik, kata bapa itu lagi, orang Inggris bilang, “human being is a learning organism” (manusia adalah makhluk pembelajar). Makanya, belajar adalah sarana memperbarui diri. Tanpa belajar kita hidup selalu terbelenggu dengan masa lalu. Itulah penghalang bagi manusia untuk maju dan berubah, kata bapak itu.

Saya teringat, film The Last Samurai. Kaisar Jepang yang membuka pintu harus berhadapan dengan Katsumoto, samurai yang menghendaki kemurnian budaya yang memilih lari ke hutan dan menentang modernisasi. Tragedi perubahan tampak saat Nathan (Tom Cruise) yang direkrut Kaisar melatih tentara – tentara menggunakan senjata api. Lalu, tentara yang berhasil menembak papan saat latihan dipaksa menembak manusia. Mereka bertarung dengan diri sendiri, dan terbukti gagal menembak. Nah, bisa jadi, dalam kaitan dengan perjuangan pembentukan propinsi Flores, mereka adalah tentara – tentara itu, bagian dari produk masa lalu yang sudah terbiasa dengan busur, panah dan pedang.

Adik, sambil meneguk kopi terakhirnya lalu pamit pulang, bapak itu berkata lagi, pemekaran propinsi Flores itu ibarat seorang ibu yang akan melahirkan seorang anak manusia, ia harus bersakit – sakit dahulu, sebelum si anak hadir di dunia, menjadi anak, bertumbuh remaja hingga dewasa. Dan propinsi Flores, juga akan lahir dengan ‘sakit’-terutama sakit dengan masa lalu, sebelum ia tumbuh menjadi propinsi yang mandiri serta bermartabat.

Saya lalu pamit menuju Mbay. Sambil menarik gas motor, dalam perjalanan saya mencari – cari siapa sosok yang tepat untuk memeran figur bapak dalam obrolan imajinatif di atas.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun