Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Program Tol Laut di Ende, Flores

20 Oktober 2016   21:22 Diperbarui: 21 Oktober 2016   02:28 1047
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KM Mahkota Nusantara sedang bersandar di Pelabuhan Bung Karno Ende Flores. Foto:floreskita.com

Tepat hari ini, 20 Oktober 2016, Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Ir H. Joko Widodo dan Wakil Presiden H. Jusuf Kalla berusia dua tahun. Pasangan ini sekuat tenaga berdiri, menata pertumbuhan ekonomi. Mempercepat pembangunan infrastruktur. Meningkatkan kualitas SDM dengan program KIP. Meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan yang baik dengan program KIS. Perlahan mengikis habis mental korup dan pungutan liar (Pungli). Dan yang terakhir, menegakkan prinsip keadilan sosial bagi seluruh Indonesia, seperti pemerataan harga bahan bakar minyak di seluruh pelosok RI termasuk di Papua dan Nunukan, Kalimantan Timur.

Pemerintahan Jokowi dan JK membalut semangat gerakan revolusi mental dalam bingkai ‘Kabinet Kerja’. Tampak semangat dan menggebu di awal star. Seluruh warga Indonesia menyambut gembira ketika nama-nama mereka dipanggil. Satu demi satu berlari kecil di istana kala itu. Sungguh bersemangat. Seakan memupuk rasa percaya diri hebat, sehebat Indonesia hebat.

Di sinilah, saya bangga. Terbersit harapan kuat dari kami yang menghuni jauh di pelosok Timur Indonesia. Saya tersenyum sumringah. Seraya memanjatkan doa, di tangan Jokowi-lah, Indonesia jaya. Paling tidak, Flores khususnya bisa mengecapnya itu.

Bukan berarti tidak sama sekali, selain program KIS dan KIP yang sudah kami nikmati, harapan masih menjadi segepok harapan. Bahkan kian menumpuk. Doa masih seutas doa. Kian menjadi keluh kesal yang tak ada ujungnya.

Pelabuhan Marapokot, salah satu pelabuhan di Mbay, Nagekeo, Flores. Foto: Roman Rendusara
Pelabuhan Marapokot, salah satu pelabuhan di Mbay, Nagekeo, Flores. Foto: Roman Rendusara
Hemat saya, salah satu dari hal yang lain, program Tol Laut masih menjadi program gagal. Untuk kami di Flores umumnya, Tol Laut itu nampak dengan semakin ramainya pelabuhan. Di Ende misalnya, Pelabuhan Bung Karno, tempat bongkar muat barang dan penumpang, sudah disinggahi beberapa kapal besar. Di antaranya KM Egon, KM Mila Utama dan KM Mahkota Nusantara. Ketiga kapal ini bisa mengangkut penumpang, barang dan puluhan kendaraan dengan segala roda dari/ke Ende. Mengangkut hasil-hasil bumi Flores dan diantar ke Surabaya. Sebaliknya dari Surabaya mengangkut barang-barang untuk kebutuhan sembako, dan dipasarkan di Flores.

Meski demikian, geliat lancarnya kapal-kapal laut ini belum membawa dampak positif bagi kami. Harga gula justru semakin mahal. Telur naik. Harga semen dan besi engan turun. Kami semakin miris, harga hasil-hasil bumi Flores, pertanian dan perkebunan melorot tajam. Cengkeh dibeli dengan Rp 83.000. Padahal di masa belum ada tol laut sangat menukik di atas Rp 150.000 per Kilonya. Lebih sedih, kakao hanya tiarap pasrah di Rp 30.000 per Kilogram. Harga ini jauh lebih ‘lunglai’ sebelum program Tol Laut. 

Kami petani di kampung tidak butuh kapal-kapal besar meski sebesar Pulau Flores. Kami hanya butuh kehadirannya bisa membuat harga cengkeh naik, harga kemiri loncat, harga kopra mengoprol-koprol. Kami ini seperti dulu jauh sebelum Tol Laut, harga vanili bisa menyenggol satu juta rupiah per kilogram. Selebihnya, baru dijadikan obyek wisata baru, foto-foto narsis di atas kapal, sambil melambai-lambai tangan seolah hendak pergi jauh. Maklum kami orang kampung.

Sekali lagi, program Tol Laut adalah produk gagal. Kuat dugaan, pemerintahan Jokowi-JK belum punya nyali memutuskan mata rantai busuk dan licik oknum tertentu yang ‘bermain’ harga. Mereka bereforia di atas Tol Laut. Mereka menikmati dengan rakus. Hingga pemerintah bersama Dinas Koperindag seakan mengangguk-angguk setuju, jika harga barang ditentukan oleh kelompok mereka. Sungguh miris, harga sembako melambung. Sementara hasil-hasil bumi Flores dibeli sangat murah. Justru, dampak positif terlihat semakin jelas, hanya sebatas murah meriahnya harga ‘selangkangan’ yang semakin ramai didatangkan dari luar Flores. Sesungguhnya, inikah dampak Tol Laut yang diharapkan? Oh, no.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun