Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perjumpaan yang Meneguhkan dengan Kompasianer Iskandar Zulkarnain

31 Agustus 2016   21:06 Diperbarui: 31 Agustus 2016   22:09 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perjumpaan yang meneguhkan kompasianer Pak Iskandar Zulkarnain dan Roman Rendusara di Ende, Flores. Foto: Iskandar Zulkarnain

Kota Ende, Flores siang itu sangat panas. Terik menukik tepat di atas kepala. Meski demikian, angin laut dari selatan menghebus sepoi-sepoi tenang. Daun-daun beringin melambai pelan, mengiring perjumpaan kami, dua kakak beradik sekandung dalam kompasiana di Taman Renungan Bung Karno itu.

Saya lebih bahagia menyapanya, Pak Zul. Seorang kompasianer yang aktif menulis dengan motto ‘coba berbagi pada sesama’. Lebih dari itu, Iskandar Zulkarnain begitu nama lengkapnya, sudah saya kenal sejak bergabung dan mulai aktif ‘melawan lupa’ di blog kebanggaan ini.

Secara usia kelahiran memang terpaut jarak yang cukup lebar, namun saya agak ‘sombong’ jika usia kami dua diukur dengan bergabung di kompasiana. Saya menjadi kompasianer sejak 19 Mei 2011, sedangkan Pak Zul tanggal 16 Nopember 2011. Meski saya lebih tua dan Pak Zul lebih muda enam bulan setelah saya, tidak menjamin produktivitas tulisan. Saya patut mengangkat jempol, Pak Zul sudah menghasilkan 529 tulisan, sedangkan saya baru 222 tulisan.

Andai tidak terlewatkan atas alasan waktu dan sinyal yang muncul bak lumba-lumba, saya selalu membaca tulisan siapa pun dan di kanal apapun di kompasiana. Termasuk setiap tulisan Pak Zul. Setiap goresan beliau selalu menginspirasi. Liputan tempat wisatanya mengantar saya berada langsung di obyek tersebut. Catatan-catatan hariannya selalu melukiskan sisi lain dari peristiwa yang terjadi.

Sejenak di bekas pemandian Bung Karno, Ndona, Ende. Foto: Roman Rendusara
Sejenak di bekas pemandian Bung Karno, Ndona, Ende. Foto: Roman Rendusara
Pak Zul, saya tahu, di setiap tulisannya selalu seperti mengajak pembaca ‘melihat kucing hitam yang bertengger di atas batu hitam di tengah malam yang gelap. Beliau mampu melihat itu, mengungkap sisi lain sebuah fakta dan menyajikan dengan bahasa yang sederhana. Sangat elegan dicerna.

Hasil dari itu semua, Pak Zul menjadi salah satu dari dua puluh blogger kompasiana yang inspiratif. Melalui tulisan-tulisannya beliau turut memberdayakan generasi Indonesia untuk menggali ‘Hidup yang Lebih Berarti’. Sebuah teladan yang harus dicontohkan bagi saya dan semua kompasianer. Beliau pun membukukan cerpen-cerpennya kuat berpesan dalam ‘Mandeh, Aku Pulang’. Tapi sayang saya lupa minta.

Pertemuan kami berdua, kakak beradik sekandung dalam kompasiana merupakan pertemuan yang meneguhkan. Pak Zul membangun komunikasi dengan hati. Sejuk tuturnya tapi menguatkan. Lembut tapi menginyiratkan bias-bias inspirasf – (1) merekat keakraban, (2) merawat kebersamaan dan (3) memupuk perubahan yang kreatif dari cara berpikir dan bertindak.

Barang sejam lebih pertemuan kami di tempat Bung Karno menemukan butir-butir Pancasila itu, kesemuaannya saya meyakini Pak Zul  sungguh seorang penakluk yang agung. Meski dengan cara tutur yang lembut. Nampak ‘sed suaviter in modo’ (teguh dalam prinsip tapi lembut dalam cara). Beliau nekat berkeliling Pulau Flores dengan sepeda motor, di usia yang tidak lagi muda. Ia teguh dalam menulis dan mencoba membagi kepada sesama. Saya mengapresiasi sungguh.

Kenekatan inilah yang meneguhkan saya sebagai anak Flores. Lewat caranya pula, Pak Zul membangkitkan semangat menulis di kompasiana. Di akhir pertemuan kami, sebelum saya mengantarnya ke ujung timur Kota Ende, beliau memberikan dua pesan. Pertama, tetap semangat dan teruslah menulis sembari berbagi kepada sesama. Kedua, tulislah novel tentang budaya Flores terutama mahar (belis).

Dua pesan seorang senior yang menggedor spirit menulis saya. Beliau menguatkan pesimistis saya sebagai penulis kompasiana di sudut negeri, dimana jauh dari acara-acara kumpul ‘bareng’ dan diskusi sebagai sesama penulis. Saya pun semakin kuat yakin, kompasiana membuka kran-kran perbedaan, yang mengalirkan keberagaman menuju satu kolam besar bernama Indonesia.

Akhirnya, terima kasih Pak Zul atas perjumpaan yang meneguhkan ini. Selamat menyelami keindahan alam Flores. Lempar salam saja ke Kota Dingin Ruteng, Manggarai yang sedang mati lampu dan sinyal internet kosong. Tetap hati-hati di jalan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun