Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Seorang anak kampung, lahir dan bertumbuh di Rajawawo, Ende. Pernah dididik di SMP-SMA St Yoh Berchmans, Mataloko (NTT). Belajar filsafat di Driyarkara tapi diwisuda sebagai sarjana ekonomi di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Terakhir, Magister Akuntansi pada Pascasarjana Universitas Widyatama Bandung. Menulis untuk sekerdar mengumpulkan kisah yang tercecer. Blog lain: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

NTT Belum Siap Kembangkan Pariwisata

8 September 2014   19:30 Diperbarui: 29 Agustus 2020   08:22 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Wisatawan menikmati pesona Danau Kelimutu di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, Minggu (8/1/2012). Danau Kelimutu yang menawarkan keindahan alamnya masih menjadi daya tarik wisatawan domestik dan mancanegara yang berkunjung ke Pulau Flores. (KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN)


BALI, NTB, dan NTT sudah dikenal sebagai pintu gerbang pariwisata Indonesia. Bahkan menurut data BPS, angka yang masuk ke Bandara Lombok masih tertinggi dibandingkan dengan kawasan lainnya. Peningkatan tujuan wisata ini lebih banyak disumbangkan oleh wisatawan asing yang meningkat tajam setiap tahun (travel.okezone.com, 18/07/2014). Ini membanggakan, apalagi untuk NTT, perhelatan ‘Sail Komodo 2013’ yang sukses diselenggarakan di Labuan Bajo, Manggarai Barat ikut menambah daya tarik wisatawan mancanegara ke tanah Flobamorata (Flores, Sumba, Timor, Alor dan Lembata).

Judul tulisan di atas tidak ingin mengebiri kebanggaan tadi sebab bisa jadi David A. Colb menyebutnya hanya sebagai ‘experiential learning’. Tidak lain adalah cemeti yang mendewasakan. Ada tiga peristiwa penting yang berusaha menggiring sekaligus menuduh siapa pun peduli dengan eksotika NTT. 

Pertama, dua bulan lalu, saya jalan-jalan ke Labuan Bajo, karena lelah dengan sepeda motor dari Kota Ende. Malam pun tiba. Saya memutuskan untuk menginap di sebuah penginapan sangat sederhana. Namanya hotel B. Saya belum tidur, masih memirsa acara TV di ruang tengah yang sekaligus lobi hotel. Sekitar pukul 21.00 WIT, datanglah tiga orang turis. Sambil tergopoh-gopoh disetrum hawa dingin Kota Ruteng ini, mereka menanyakan harga kamar untuk semalam. Seorang perempuan memegang sebuah buku, persis buku panduan wisata, lengkap denerti tertera jelas dalam buku panduan itu. 

Adu argumen pun terjadi antara pihak hotel dan turis tadi. “Tidak, harga hotel sudah Rp100.000,” timpal tuan hotel dengan bahasa Inggris sedikit lincah. “Lihat ini, harga hotel B Rp80.000” sambil menunjuk-nunjuk di buku. Saya pun penasaran dan bangkit sekedar ikut ‘nimbrung’. Saya meminta izin untuk dilihat bukunya. “Hmmm... sekarang sudah tahun 2014, sedangkan buku ini cetakan terakhir 2012. Harganya sudah naik, Mr.” Ketiga turis itu paham dan mengangguk. Mereka pergi mencari penginapan lain. “Mereka benar, hotel juga benar,” kataku kepada si penerima hotel. Lalu yang salah siapa? Buku panduan itu siapa yang keluarkan? Mengapa tidak pernah di-update?

Peristiwa kedua terjadi sebulan lalu, depan Hotel Flores Mandiri, Jl. Melati No 01 Ende. Dua orang turis cewe. Dari Boawae ke Ende mereka menumpang travel. Ketika tiba di Ende mereka turun. Sang sopir meminta bayar Rp100.000, masing-masing Rp50.000. Tapi dua turis tadi ‘ngotot’ kalau mereka menyiapkan uang hanya Rp40.000, seorang dengan Rp20.000. Adu argumen terjadi. Turis tidak menunjuk buku, tapi setahu mereka Rp20.000 seorang. Sontak sopir tidak puas. Sedikit terkendala bahasa Inggris, dua bule asal Amerika itu mengatakan mereka tidak ada uang lagi. “Ini hanya Rp40.000. Kami siapkan pas.” 

Saya hilang akal bagaimana ini bisa terjadi. Tentu turis-turis selalu berpatokan pada panduan, atau informasi yang mereka dapat entah dari mana saja. Sopir mati-matian tidak mau terima uang Rp40.000. Harus Rp100.000. Tidak hilang akal, saya coba tanya apakah ada uang di Bank atau ATM? Mereka bilang ada, tapi pakai CommonwealthBank. Lalu, saya sarankan ambil uang di ATM bersama dulu, di Ende tidak ada CommonwealthBank. Persoalan selesai. Dua bule itu mengangguk dan pergi bersama sopir travel tadi.

Peristiwa ketiga terjadi di kompleks pertokoan Ende seminggu lalu. Sekitar pukul 15.00 WIT. Sepasang turis, pria dan wanita, terlihat kebingungan. Tidak ada satu pun sopir dan tukang ojek yang mengerti bahasa Inggris. Kerumunan pun terjadi tanpa ada solusi pasti. Pasangan ini dibuat seperti kapal karam. Kebetulan lewat saya menerobos, “Mr, May I help you?” Sontak dengan wajah gembira, mereka mengatakan “of course”. Keduanya mau ke Penggajawa, sebuah pantai di Ende yang terkenal dengan hamparan batu biru dan hijau. Tapi mereka tidak tahu lewat mana dan berapa harganya? Mereka juga memegang buku panduan, namun tidak tercantum harga. Sopir dan tukang ojek mencolek saya, biar suruh menumpang dengan mereka. Saya bilang ke bule itu ada alternatif, bisa dengan ojek dan angkutan pedesaan Ende – Nangapanda. Jarak Ende – Penggajawa sekitar 26 km. Jika dengan ojek bisa Rp50.000 dan dengan angdes hanya dengan Rp10.000. Akhirnya saya mengantar mereka menumpang angdes. “have a nice trip” sahutku, “terima kasih banyak” sambut pasangan muda asal Kanada ini sambil menyalami saya.

Tiga kejadian di atas adalah catatan kegelisahan saya akan tanah Flores, NTT umumnya yang selalu gempar memproklamirkan diri sebagai propinsi Pariwisata. Kita kaya akan budaya dan aset pariwisata lokal. Tetapi di tengah arus destinasi pariwisata itu, kita adalah penonton setia. Mengapa demikian?

Pertama, SDM manusia Flores belum siap. Tidak jarang para sopir angkutan, bis dan travel serta tukang ojek sedikit yang bisa berbahasa Inggris. Kita tahu mereka adalah pemegang kunci utama menuju tempat wisata. Kedua, ini tugas saya dan kita semua, swasta maupun pemerintah untuk senantiasa meng-update harga hotel dan tiket sesuai tarif terkini. Yang ketiga, mental koruptif ternyata bukan hanya milik penghuni jeruji besi KPK. Korupsi tidak kenal profesi. Tidak jarang beberapa travel dan bis menaikkan tarif sesuka hati kalau penumpangnya bule. 

Akhirnya, masihkah NTT bangga mempromosikan budaya dan pariwisatanya? Hemat saya, NTT belum menjadikan sektor pariwisata sebagai kekuatan ekonomi utamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun